Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kota: Kelola Gedung Parkir atau Hunian Karyawan?

24 April 2014   20:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:15 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_333082" align="aligncenter" width="600" caption="Gedung khusus parkir di kota Bangkok Thailand (dok.pri tahun 2011)"][/caption] Tahun 2011 saya berkesempatan mengunjungi salah satu negara paling eksotik di Asia Tenggara. Negara yang terkenal dengan brand gajah putih ini menyimpan pesona budaya yang sangat khas. Kondisi geografi dan alamnya membuat saya merasa seperti di negara sendiri. Jika kita merasa serumpun dengan Malaysia karena faktor bahasa, maka di Thailand saya melihat kesamaan itu lewat kehidupan sehari-hari yang nampak pada kondisi transportasi dan meriahnya pasar tradisional. Bangkok juga tidak lepas dari masalah kemacetan, seperti Jakarta masalah kemacetan di dua negara ini masih menjadi PR pemerintahan masing-masing. Hanya saja di Thailand saya sudah merasakan transportasi publik seperti MRT sedangkan di Jakarta masih dalam tahap pembangunan. Informasi dari travel guide menjelaskan sekitar tahun 80-awal tahun 2000 kondisi dan sarana transportasi umum di kota Bangkok sangat buruk. Akhirnya pada tahun 2004 jalur dan prasarana transportasi publik MRT mulai digunakan masyarakat Bangkok. Salah satu yang menarik perhatian saat itu adalah gedung parkir yang berada di dekat hotel tempat saya menginap. Saya awalnya agak kaget juga melihat gedung yang dijadikan tempat parkir. Jadi gedung ini berjumlah sekitar delapan lantai, dan semuanya digunakan untuk parkir kendaraan roda empat. Untuk Jakarta dan kota besar lain di Indonesia pemerintah menerapkan aturan yang mewajibkan kantor dan bangunan publik lainnya memiliki tempat parkir. Gedung parkir ini banyak kita temukan di Jakarta, gedung parkir bertingkat dianggap sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan parkir di daerah yang padat lalu lintas. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="salah satu gedung parkir di Jakarta (foto.inilah.com)"]

salah satu gedung parkir di Jakarta (foto.inilah.com)
salah satu gedung parkir di Jakarta (foto.inilah.com)
[/caption] Menarik melihat bagaimana pemerintah kota berusaha mengatur sistem parkir di daerah pusat bisnis yang memiliki bangkitan dan tarikan lalu lintas sangat tinggi. Bangkitan lalu lintas adalah meningkatnya pergerakan lalu lintas (orang-perjalanan/jam) dan dikonversikan ke lalu lintas menjadi [kendaraan/jam] atau [smp/jam]. Jika satu kawasan tertentu menjadi pusat bisnis dan perbelanjaan maka bisa dibayangkan jumlah bangkitan dan kendaraan yang menuju kawasan bisnis tersebut. Dampak lain lagi adalah tentu gedung-gedung perkantoran hingga mal membutuhkan lahan parkir yang sangat luas. Yogyakarta mengalami pertumbuhan pembangunan yang cukup pesat dan salah satu kawasan yang memiliki bangkitan/tarikan lalu lintas cukup tinggi ada di kawasan Malioboro.Sayangnya parkiran Malioboro seakan menjadi lahan bisnis karena ada sebutan untuk parkir swasta dimana pusat perbelanjaan menyediakan fasilitas parkir sendiri dan juga parkir pemerintah yang menjadi sumber PAD daerah. Saya ingat ketika teman pernah bersitegang dengan tukang parkir di Malioboro yang meminta tarif parkir hingga dua ribu rupiah, padahal aturan pungutan tarif parkir hanya mensyaratkan sebanyak seribu rupiah. Belum lagi ketika memasuki kawasan taman pintar dan shooping book, tarif parkir juga sudah ditentukan sebanyak dua ribu rupiah dengan alasan sebagai kawasan khusus. Bahkan biaya parkir untuk sepeda di pasar murah Sunmor saja mencapai dua ribu rupiah. Pembangunan kota terutama di negara maju seperti Singapura sangat mengutamakan efisiensi penggunaan lahan. Contohnya adalah dengan menata kota secara kompak atau dikenal dengan istilah compact city. Penataan secara kompak memiliki beberapa manfaat salah satunya adalah mengurangi konsumsi energi yang berlebih terutama di sektor transportasi. Misalnya gedung perkantoran dan tempat tinggal yang berdekatan sehingga dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum untuk rute yang sama. Karyawan tidak lagi menghabiskan waktu di jalan karena macet menuju tempat kerja. Sehingga bisa ditanyakan mengapa gedung-gedung parkir tidak dijadikan rumah tinggal untuk karyawan saja?

Hunian karyawan

Belanda dan Australia memiliki bangunan multifungsi yang bisa menjadi hunian dan tempat kerja sekaligus, misalnya kantor di lantai empat, apartemen di lantai lima dan restoran di lantai bawah. Keadaan serba “terjepit” seperti ini sudah ada di kota besar seperti Jakarta tapi kurang mendapat respon agar dibangun hunian multifungsi tersebut. akibatnya yang menghuni pusat kota Jakarta didominasi karyawan menengah ke atas yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah karyawan menengah kebawah (sumber:disini). Bahkan meningkatnya jumlah peminat properti di pusat kota Jakarta menyebabkan nilai properti semakin bertambah mahal. Nilai per meter per segi mencapai puluhan juta rupiah. Hal ini semakin menyulitkan karyawan menengah ke bawah untuk mendapat hunian dekat dengan kantor/tempat kerja. Analis perencanaan Marko Kusumawijaya pernah menuliskan bahwa hanya sekitar 5-10% karyawan yang bekerja di sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman yang tinggal juga di dalam kawasan  yang sama (baca disini). Apa yang bisa disimpulkan dari kasus ini adalah yang mampu membeli hunian di pusat kota dengan harga puluhan juta/meter adalah ekspatriat, sedangkan karyawan dengan penghasilan ekonomi menengah ke bawah tentu hanya bisa menempati tanah di daerah pinggiran ibukota. Orang-orang inilah yang akan menghabiskan waktu produktif mereka di atas mobil-mobil tipe city car atau angkutan umum. Pudong, salah satu provinsi di Tiongkok merupakan kawasan perdagangan  dan industri yang dibentuk akibat embargo ekonomi oleh International Trade Organisation pada tahun 1950. Saat ini kawasan Pudong telah tumbuh menjadi industri yang sangat menjanjikan digadang-gadang akan menyandang status sebagai kota dunia. Lantas apa yang menarik dari kawasan industri Pudong? Pemerintah Pudong menjamin tempat tinggal bagi karyawan yang bekerja di industri Pudong. Sekitar dua puluh lima ribu rumah tangga dipindahkan ke hunian baru, semua langkah ini bertujuan untuk meningkatkan investasi dan minat investor di daerah Pudong. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="kawasan Pudong yang dipisah sungai Huangpu (footage.shutterstock.com)"]

kawasan Pudong yang dipisah sungai Huangpu (footage.shutterstock.com)
kawasan Pudong yang dipisah sungai Huangpu (footage.shutterstock.com)
[/caption] Produktivitas kerja karyawan tentu akan lebih maksimal dibandingkan dengan kinerja karyawan yang lebih banyak menghabiskan waktu di jalan. Soal parkir dan hunian adalah keduanya sama-sama memerlukan ruang, namun ada ruang atau kawasan tertentu yang memang membutuhkan kantung-kantung parkir karena aktivitasnya bersifat temporer seperti kawasan perbelanjaan Malioboro. Juga ada pendekatan tata ruang untuk mengurangi bangkitan lalu lintas menuju satu kawasan yang membutuhkan area parkir yang cukup luas seperti perkantoran, dan industri seperti tata ruang kompak, di dalamnya terdiri dari bangunan multifungsi atau sekarang dikenal dengan istilah mix used building. Masalahnya adalah apakah konsep ini bisa dimanfaatkan oleh karyawan dengan penghasilan ekonomi menengah ke bawah? Atau lagi-lagi ide perencana kota modern memang hanya bisa dinikmati oleh kaum ekspatriat.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun