bagaimana Asia Tenggara tetap berdaulat di tengah permainan raksasa global yang selalu menganggapnya sebagai pion
Sejak Perang Dingin berakhir, kita sering diberitahu bahwa dunia akan menjadi lebih stabil di bawah dominasi demokrasi liberal ala Amerika Serikat. Francis Fukuyama, dalam The End of History, membayangkan dunia di mana nilai-nilai liberal akan menang dan konflik geopolitik akan mereda. Namun, di Asia Tenggara, "akhir dari sejarah" justru terasa seperti permulaan dari babak baru yang lebih rumit dan lebih menguntungkan bagi mereka yang tahu cara bermainnya.
Bilahari Kausikan dalam laporannya menegaskan bahwa ASEAN bukanlah sekadar arena pertempuran antara AS dan China, tetapi pemain aktif yang dengan cerdik memainkan keduanya untuk keuntungan mereka sendiri. Ini bukan tentang memilih antara Washington atau Beijing. Ini tentang menciptakan ruang gerak yang memungkinkan ASEAN untuk tetap berdaulat, berdaya, dan tidak jatuh dalam perangkap hegemonik mana pun.
Dari "Offshore Balancing" AS ke "Smart Balancing" ASEAN
Konsep offshore balancing yang diterapkan AS selama beberapa dekade terakhir di Asia Pasifik bertujuan untuk menjaga keseimbangan tanpa keterlibatan langsung. Sebagai "penyeimbang dari kejauhan," AS mendukung sekutu-sekutunya di kawasan untuk memastikan China tidak menjadi terlalu dominan. Namun, seiring waktu, strategi ini semakin terlihat tidak konsisten.
- Di satu sisi, AS meningkatkan hubungan pertahanan dengan negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan Singapura.
- Di sisi lain, AS sering kali menunjukkan ketidakpastian dalam komitmennya terhadap kawasan, seperti dalam tarik-ulur kebijakan terhadap sekutunya sendiri.
ASEAN, dengan pengalaman sejarahnya, memahami bahwa terlalu bergantung pada satu kekuatan besar adalah kesalahan strategis. Maka lahirlah strategi yang lebih cerdas: Smart Balancing.
- Engage China secara ekonomi, tetapi jangan biarkan ketergantungan menjadi alat kontrol.
- Pertahankan hubungan militer dengan AS, tetapi jangan sampai terseret dalam konflik yang tidak menguntungkan.
- Jalin kerja sama dengan Jepang, India, Uni Eropa, dan kekuatan menengah lainnya untuk memperkaya pilihan strategi.
Inilah mengapa ASEAN tetap berdiri tegak meskipun dunia semakin bipolar.
AS dan China, Kompetisi yang (Kadang) Menguntungkan ASEAN
Bayangkan seorang pembeli di pasar tradisional yang memiliki dua pedagang besar bersaing menawarkan barang dagangan mereka.
- China menawarkan harga murah, tetapi dengan kontrak panjang yang sulit dibatalkan.
- AS menawarkan barang berkualitas tinggi, tetapi dengan syarat harus berjanji setia kepada nilai-nilai mereka.
Sementara itu, ASEAN, pembeli cerdik, hanya tersenyum dan berkata, "Kami akan membeli dari keduanya, tetapi kami tidak akan berjanji setia pada siapa pun."