Di atas kertas, Indonesia adalah negara hukum. Konstitusi kita menegaskan bahwa kekuasaan harus tunduk pada aturan yang mengikat setiap warganya tanpa pandang bulu. Namun, di negeri ini, hukum lebih sering menjadi mitos ketimbang realitas. Ia seperti kabut yang menyelimuti gunung keadilan---samar, rapuh, dan mudah diterobos oleh mereka yang memiliki kuasa. Penegakan hukum, yang seharusnya menjadi pilar keadilan, justru menjelma menjadi alat negosiasi bagi segelintir elite. Lalu, sebenarnya, apa gunanya Kejaksaan Tinggi berada di Gorontalo?
Sejarah mencatat bahwa rakyat Indonesia bersatu melawan penjajahan, menumpahkan darah demi kemerdekaan yang dijanjikan akan membawa keadilan bagi seluruh rakyatnya. Ironisnya, hari ini kita justru hidup dalam belenggu penjajahan baru---penjajahan oleh bangsa sendiri. Jika dulu rakyat ditindas oleh kolonial, kini mereka diinjak-injak oleh aparat yang bersumpah menegakkan hukum.
Penegakan hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan kini berubah menjadi ladang bisnis. Korupsi bukan lagi sekadar praktik menyimpang, melainkan telah menjadi budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koruptor bukan lagi penjahat, tetapi seniman yang lihai menari di atas penderitaan rakyat. Gorontalo, yang dicatat sebagai provinsi termiskin nomor lima di Indonesia, menjadi panggung ironi: miskin dalam kesejahteraan, tapi kaya dalam praktik korupsi.
Lihatlah kasus HP, tersangka korupsi yang telah P21 di Kejaksaan Tinggi Gorontalo, tetapi tetap menghirup udara bebas. Penahanan yang seharusnya dilakukan justru ditunda entah sampai kapan. Hukum kini menjadi lelucon murahan yang hanya berlaku bagi mereka yang tak memiliki kuasa. Sementara rakyat kecil yang mencuri motor di Kota Gorontalo pada Sabtu (15/2/2025) harus meregang nyawa, mereka yang menjarah uang negara bisa tetap tersenyum di depan kamera.
Dan di balik semua ini, muncul sosok NS, seorang oknum kejaksaan yang namanya kini menjadi buah bibir. NS dilaporkan oleh BEM Provinsi Gorontalo ke Kejaksaan Agung atas dugaan gratifikasi. Isunya, NS sering bertemu dengan pejabat atau bos yang berperkara di Kejaksaan Tinggi Gorontalo, dengan satu tujuan: menyelamatkan mereka dari jerat hukum. Ini bukan sekadar isu teknis hukum, tetapi juga persoalan moral yang mencerminkan kebobrokan institusi. Ketika aparat yang seharusnya menegakkan keadilan justru menjadi pelindung para koruptor, maka tamatlah harapan rakyat untuk mendapatkan keadilan sejati.
Lebih ironis lagi, di tengah carut-marut kasus hukum ini, Kejaksaan Tinggi Gorontalo justru sibuk menggelar turnamen mini soccer. Sebuah kegiatan yang, secara kasat mata, mungkin tampak seperti ajang olahraga biasa. Namun bagi mereka yang memahami pola permainan di balik layar, turnamen ini lebih dari sekadar hiburan. Ada dugaan kuat bahwa di sela-sela pertandingan, terjadi negosiasi rahasia antara para jaksa dan mereka yang berperkara. Hukum pun dijalankan seperti sapi perah---siapa yang membayar lebih, dialah yang bebas dari jerat hukum. Sebaliknya, mereka yang tak mampu menyetor akan dibiarkan terjerembab dalam lumpur hukum yang tajam bagi kaum lemah, tetapi tumpul bagi mereka yang punya kuasa.
Maka, apa gunanya Kejaksaan Tinggi di Gorontalo jika hanya menjadi pabrik kompromi hukum? Apa artinya supremasi hukum jika mental para penegaknya telah bobrok, miskin integritas, dan culas? Hukum seharusnya bukan barang dagangan yang bisa dinegosiasikan, tetapi pedang tajam yang menebas ketidakadilan. Kita tidak membutuhkan aparat yang hanya pandai berbicara soal supremasi hukum di depan podium, tetapi diam saat uang berbicara di ruang tertutup.
Kejaksaan Agung harus segera turun tangan, melakukan evaluasi total terhadap Kejaksaan Tinggi Gorontalo. Pembersihan besar-besaran harus dilakukan, dan mereka yang terbukti menjadikan hukum sebagai komoditas harus segera disingkirkan dari institusi. Kejaksaan bukan tempat bagi para pedagang keadilan, tetapi benteng terakhir bagi mereka yang mendambakan keadilan. Jika aparat hukum tak lagi bisa dipercaya, maka jangan salahkan rakyat jika kepercayaan terhadap negara semakin pudar.
usir penegak hukum bermental korup dari bumi Serambi Madinah! Negeri ini terlalu suci untuk dinodai oleh tangan-tangan kotor yang menjual keadilan demi keuntungan pribadi.