Secara syar'i, mubahalah adalah praktik berat. Didedikasikan untuk klarifikasi prinsipil---tidak untuk pertunjukan massa. Namun dalam versi battlefield politik, ia menjadi ritual eksistensial: "Aku telah berkata benar, dan aku siap bertanggung jawab di hadapan Tuhan, bukan hakim boneka."
Melalui tindakan ini, mubahalah juga memanggil publik agar sadar:
"Kalau aku saja tidak diputus adil, siapa lagi yang bisa kita percaya?"
Bukan perayaan fanatisme ritual, melainkan seruan moral yang mendalam:
"Cek data, rawat fakta, dengarkan suara yang tersakiti, sebelum doa-doa itu menghujam realitas kita."
4. Adakah Jejak Sejarah-Nya?
Zaman Fir'aun dan Haman kita kenal dengan kekuasaan arogan yang mengambil wahyunya menjadi instrumen penindasan. Tapi sungguh tragis, kini banyak "Fir'aun" modern memakai label hukum dan demokrasi untuk membungkam kebenaran.
Seperti kata Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed:
"Saat bakat dibungkam, sistem pendidikan berubah jadi alat reproduksi penindasan."
Lalu saat hukum dibungkam, apa lagi yang tersisa? Hanya doa dan sumpah---tak lain adalah mubahalah.
5. Mengapa Kita Harus Peduli Dengan Mubahalah?
Karena mubahalah adalah alarm; bahasa terakhir saat solidaritas keadilan telah dikhianati. Jika kita menertawakannya sebagai fenomena dramatis, maka kita malah mendukung sistem yang telah gagal itu---yaitu kekuasaan yang tidak terbiasa dikritik.