*Ketika Mubahalah Menjadi Jalan Terakhir: Doa untuk Melawan Kuasa
------
Di Indonesia era "demokrasi rasa komedi", ketidakadilan sering menyergap dalam bungkus legalitas. Hukum bak lakban yang menempel rapi di wajah kekuasaan. Data diolah untuk membenarkan narasi. Fakta dipelintir demi memalsukan kenyataan. Dan publik? Dijinakkan dengan narasi prasangka, diberi label radikal saat berani berkata jujur.
Di sinilah mubahalah muncul---seperti tombak terakhir yang diacungkan ke langit. Bukan dalam konteks ulang kaji agama, tapi dalam riuh kebutuhan mendesak: "Kalau aku bohong, semoga Azab Tuhan." Sebaliknya, kalau aku benar, biarlah para pembohong hancur dalam keheningan kalimat yang tidak bisa dibantah oleh hakim manusia.
"Tidak semua yang legal adalah benar," begitu Immanuel Kant mengingatkan dalam Critique of Practical Reason.
Namun di negeri ini, legal sering dipakai untuk menutupi kebenaran---bahkan ketika kebenaran itu memar karena rezim kekuasaan.
Jarang sekali hukum digunakan untuk membela rakyat kecil. Sebaliknya, hukum justru dipakai untuk membungkam, seperti otak yang dikelabui hoaks, atau suara yang dihukum lewat UU karet.
1. Jalan Buntu Menuju Keadilan
Bayangkan seorang aktivis yang mengumpulkan bukti. Ia suarakan di forum terbuka. Ia beri ruang dialog publik. Ia ajukan banding, protes administrasi, dan tempuh jalur hukum. Hasilnya? Dia dipantau, diperas, atau dipenjara. Fakta dihapus, suara dikresek, argumen dibius.
Tak heran jika akhirnya muncul seseorang yang berdiri di tengah ruangan---tangan direntangkan ke langit---sambil berteriak mubahalah. Bukan karena ia haus teater religius, tetapi karena dia sudah kehabisan kata, jalan, dan harapan pada keadilan manusia.
2. Ketika "Hukum" Jadi Sandiwara Kekuasaan
Friedrich Nietzsche pernah menulis: "Siapa yang memiliki 'mengapa,' dapat menanggung hampir semua 'bagaimana.'"
Artinya, jika seseorang yakin pada kebenaran -- apa pun risikonya -- ia mampu menghadapi segala bentuk penindasan sistem. Ia bebas dari gagasan bahwa hukum Negara adalah satu-satunya hakikat keadilan.
Maka dalam tragedi modern ini, hakim langit dipanggil---dengan mubahalah. Sebab jika hukum manusia sudah lunak dan dipreteli, maka hanya Tuhan yang bisa menjadi pengadil lagi.
3. Mubahalah: Simbol Keputusasaan atau Proklamasi Kejujuran?