Cerpen: Membaca 80 Tahun Indonesia Merdeka
Pagi itu, udara Agustus terasa berbeda. Angin yang bertiup membawa aroma tanah basah bercampur semangat yang seakan diwariskan dari masa lalu. Bendera merah putih berkibar di halaman sekolah kecil di tepi desa, warnanya kontras dengan langit biru yang bersih.
Pak Rendra, seorang guru sekaligus penulis, berdiri di depan kelasnya dengan sebuah buku tebal di tangan. Ia menatap murid-muridnya yang duduk rapi, menunggu cerita yang akan ia sampaikan.
"Anak-anak," katanya dengan suara pelan namun berwibawa, "Indonesia hari ini berusia delapan puluh tahun. Kalian tahu artinya?"
Seorang murid kecil mengangkat tangan. "Artinya Indonesia sudah tua, Pak?"
Kelas pun tertawa kecil.
Pak Rendra tersenyum. "Benar, kalau kita bandingkan dengan usia manusia, delapan puluh tahun itu sudah sangat matang. Tapi untuk sebuah bangsa, ini masih sangat muda. Masih banyak yang harus kita tulis, banyak yang harus kita jaga."
Ia membuka bukunya, lalu menatap ke luar jendela. Di sana, beberapa orang tua desa tampak sibuk menyiapkan lomba panjat pinang. Suara anak-anak kecil berlarian sambil membawa bendera kertas membuat suasana terasa hidup.
"Delapan puluh tahun lalu, bangsa ini menulis bab pertamanya dengan darah dan air mata. Kakek-kakek kalian, nenek-nenek kalian, mereka berjuang melawan penjajah dengan bambu runcing dan tekad yang tak tergoyahkan. Mereka ingin kita bisa sekolah, ingin kita bisa membaca, ingin kita bisa hidup tanpa takut."
Mata murid-muridnya menatap serius. Seolah halaman sejarah yang jauh itu kini terbuka di depan mereka.
"Lalu bab berikutnya adalah pembangunan. Jalan dibuat, sekolah berdiri, dan kehidupan perlahan membaik. Tapi ada juga kesalahan---ketimpangan, korupsi, perpecahan. Itu juga bagian dari cerita bangsa kita. Dan sekarang, kita hidup di bab digitalisasi. Dunia terasa dekat, tapi juga rawan dengan kebohongan dan kebencian. Itu sebabnya kalian harus belajar berpikir merdeka, bukan hanya ikut-ikutan."