Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RUU TNI Disahkan, Bagaimana Nasib Literasi Kita?

20 Maret 2025   21:40 Diperbarui: 20 Maret 2025   21:40 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita belajar dari masa Orde Baru dulu, deh.

Pada masa Orde Baru, Soeharto berambisi untuk mengembalikan 'kewibawaan pemerintah' makanya langkah yang diambil adalah memberantas habis, mencerabut pengaruh PKI sampai ke akar-akarnya. Bahkan, Soeharto juga berusaha menghapus pengaruh-pengaruh Soekarno.

Soeharto otoriter? Jawabannya, iya. Indikatornya apa?

  • Wewenang besar pada lembaga eksekutif dipertahankan.
  • Parpol cuma hiasan pelengkap saja, karena parpol yang berkuasa tetap saja yang diketuai oleh Soeharto, yakni partai Golkar. Semua ASN wajib pilih lagi.
  • Kekuasaan birokrasi negara makin besar, sekaligus, semakin terpusat di tangan badan-badan militer. Jabatan-jabatan sipil yang penting diisi oleh personel militer. Jangan lupakan Kopkamtib, yang kekuasaannya nyaris tidak terbatas selagi mengatasnamankan  'memulihkan keamanan dan ketertiban'

Lalu apa kaitannya dengan kondisi literasi kita?

  • Masa Orde baru, banyak buku yang dilarang. Buku-buku ini dicap dapat mencemarkan nama baik pemerintah, mengancam kewibawaan dan kehormatan presiden. Mengganggu stabilitas pemerintahan.
  • Kopkamtib tadi berperan besar dalam pelarangan buku-buku.
  • Kejaksaan Agung adalah pemegang kekuasaan dalam masalah pelarangan buku. Sejak 1978 peran Kejaksaan semakin penting dan semakin aktif. Belum lagi dibantu oleh lembaga-lembaga kontrol lainnya.

Kejaksaan Agung menurut UU No. 4/PNPS/1963 menetapkan 4 tahap prosedur pelarangan buku;

  • pengumpulan bahan,
  • penyelidikan/penelitian,
  • pengambilan keputusan, dan
  • penyitaan (JKB 1999).

Pasal 2 undang-undang tersebut mewajibkan setiap percetakan untuk mengirimkan hasil cetakannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, selambat-lambatnya 48 jam pasca cetak.  Ketentuan ini katanya sering dilanggar sehingga Jaksa Agung menugaskan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen beserta stafnya untuk mengumpulkan barang cetakan atau buku-buku yang diduga berbahaya secara rutin.

Oktober 1989, keluar keputusan membentuk clearing house yang berfungsi meneliti isi sebuah buku dan memberi rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung, sebelum mengambil keputusan.

Informasi contoh buku-buku yang dilarang pada masa Orde Baru silakan cari tahu sendiri. Kita ambil satu contoh saja karya Pramoedya Ananta Toer dengan Bumi Manusia. Orang yang menyebarkan dan membaca dipidanakan.

Masyarakat menolak, penguasa tetap bertindak. Saya berharap, era presiden Prabowo bukanlah upaya membawa Orde Baru terlahir kembali. Semoga daya pikir kritis kita tidak 'ditawan' oleh para penguasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun