Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Penulis - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai.Jangan berhenti, jangan merendah, selesaikan pertandinganmu. Kita berkarya untuk keabadian. Sesungguhnya karya adalah anak. Biarkan ia berproses, tumbuh dewasa dan menemukan jodohnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peran Guru IPS dalam Menumbuhkan Jiwa Nasionalisme melalui Pendidikan Karakter

14 September 2019   12:52 Diperbarui: 14 September 2019   13:18 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sistem pendidikan di Indonesia menerapkan  pendidikan berbasis karakter yang menjunjung  nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Kemendikbud memaparkan lima nilai karakter yang seharusnya terinternalisasi dalam pendidikan yaitu, nilai religius, nilai nasionalis, integritas, mandiri dan gotong royong (Pengelola Web Kemdikbud, 2017). Untuk mendapatkan pendidikan, maka lembaga keluarga bekerja sama dengan lembaga pendidikan dalam artian menempatkan anak mereka ke dalam sekolah, agar anak-anak mendapatkan lmu pengetahuan maupun karakter. Sekolah yang ideal adalah sekolah yang menerapkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga setiap anak yang terdidik dapat ikut andil dalam mencapai tujuan nasional bangsa kita yang dimuat dalam UUD 1945 alinea keempat.

Pendidikan sebagai usaha sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Jadi, pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa (Studi, Pancasila, & Kewarganegaraan, 2015). Siswa merupakan aset terbesar dalam menentukan kemajuan bangsa di masa depan. Siswa yang akan memegang tanggung jawab menghidupi kemerdekaan yang telah dititipkan oleh leluhur kepada kita. Untuk itulah pendidikan harus membawa mereka kepada rasa cinta dan bangga kepada tanah air. Tetapi melihat kondisi mental siswa yang kian memburuk saat ini sangat diragukan bahwa mereka memiliki jiwa nasionalisme.

Dalam berbagai kasus yang kita temui saat ini mengajarkan kita bahwa ada sesuatu yang salah dalam bidang pendidikan terkait pengembangan karakter. Dimuat dalam situs ksp.go.id, Pada tanggal 5 Agustus 2019 dilakukan pelatihan guru untuk mendeteksi sejak dini intoleransi di sekolah. Peserta dilatih untuk dilatih untuk memahami empati, toleransi, intoleransi, kekerasan, dan perdamaian, cara berkomunikasi konstruktif (Ksp.go.id, 2019) . Lalu apakah pelatihan seperti ini bisa mengurangi tindak kekerasan di sekolah?

Jika ditinjau dari sudut pandang calon guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), pendidikan yang terlaksana sampai saat ini sangat memerhatikan pembentukan karakter siswa. Sejak periode jabatan Jokowi pun, pembentukan karakter menjadi salah satu fokus pembangunan sumber daya manusia yang disebut revolusi mental. Pendidikan tentu merupakan salah satu faktor terbesar yang menentukan keberhasilan pembangunan karakter anak. Tetapi siapa sangka, sekolah juga memberikan fakta mengejutkan mengenai kemerosotan karakter anak.

Di sekolah masih terdapat tindakan bullying dan kekerasan. Seperti yang dimuat oleh berita di situs Okezone.com yang ditulis oleh (Nasuha, 2019) terdapat berbagai kasus kekerasan dan bullying yang terjadi di sekolah diantaranya adalah kekerasan yang dilakukan antar siswa yaitu seorang taruna di Makassar dengan luka lebam disekujur tubuhnya akibat penganiayaan oleh seniornya. Terdapat juga kekerasan antar guru dengan siswa yaitu guru menampar hingga menendang siswa SMP di NTT serta ada juga kasus kekerasan antara murid dengan guru yakni murid melakukan rundungan pada gurunya di Gresik dengan mendorong dan mengarahkan tangannya yang terkepal kearah guru serta mengeluarkan kata-kata kotor dan merokok dihadapan guru. Selain itu kekerasan seksual terjadi dalam sekolah. Dalam Tempo.co juga dimuat bahwa hasil pengawasan KPAI mengungkap terjadi kasus kekerasan di SD dan SMP yang terjadi di 13 lokasi dan menimbulkan korban sebanyak  73 orang (Riana, 2019). Beberapa kasus yang terjadi tersebut begitu miris mengingat bahwa sekolah merupakan tempat yang kerap dianggap aman bagi anak.

 Saat ini kita memang berada dalam era revolusi 4.0 teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dan semakin cepat. Namun dari segi karakter, kita masih mengalami ketertinggalan. Kasus bullying yang marak tanpa mengenal batas usia, kekerasan terhadap siswa yang dilakukan tenaga pendidik, bahkan tindakan kekerasan yang berujung pada kematian. Semua kasus kekerasan yang menimpa murid dan guru tersebut mencerminkan pembangunan karakter kepada penerus bangsa tidak efektif. Bukan hanya siswa, bahkan makna seorang guru juga sudah melenceng dari makna yang sesungguhnya.

Pendidikan karakter yang selama ini dikobar-kobarkan sepertinya tidak mengalami perkembangan dalam bidang implementasi dan tidak membawa perubahan yang signifikan. Pendidikan berbasis karakter seakan menjadi retorika belaka yang banyak dibicarakan namun minim tindakan. Seorang siswa harusnya memiliki kasih diantara sesama siswa dan kepada guru begitu juga sebaliknya. Dalam konteks pendidikan IPS yang akan mengajarkan tentang relasi yang berlandaskan kasih, maka hal ini cukup kontekstual dalam pembentukan karakter siswa. Dalam hal ini siswa bukan hanya dilihat sebagai siswa tetapi sebagai agent of change. Agent of change bagi keluarganya, lingkungan sekitar, bahkan bangsa dan negaranya.

Revolusi 4.0 memang menjadi tantangan bagi pendidikan. Dengan berbagai kemajuan teknologi yang ditawarkan, ada hal yang paling penting untuk diperhatikan. Merosotnya pengenalan jati diri guru maupun siswa. Pertama, guru. Guru bukan hanya sekedar profesi. Kita mengetahui metafora guru sebagai fasilitator, sebagai teknisi, pengrajin dan metafora lainnya. Namun yang perlu dipahami adalah menjadi seorang guru adalah menjadi seorang pelayan, iman dan penuntun.

Brummelen menjelaskan bahwa:

 Guru adalah pelayan yang mengetahui karunia-karunia dari Tuhan baik dalam diri mereka maupun siswa-siswa yang Tuhan percayakan pada mereka. Mereka adalah imam yang penuh kasih yang memberikan dorongan dan kasih sayang pada kelas mereka dan guru sebagai penuntun bertugas untuk menuntun anak muda dalam kepekaan dan pengetahuan yang kemudian menuntun mereka untuk melayani Tuhan maupun sesama mereka. Guru sebagai penuntun menuntun anak muda dalam pengetahuan dan kepekaan yang memimpin mereka untuk melayani Tuhan dan sesama mereka (Brumelen, 2009).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun