Mohon tunggu...
Ranu Fatah
Ranu Fatah Mohon Tunggu... -

PNS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pendidikan Politik ala Media: Mencerdaskan atau Menyesatkan?

7 April 2014   19:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak dapat dipungkiri, media massa merupakan bagian yang semakin vital dalam kehidupan masyarakat modern. Menyerap apa yang disajikan media sama pentingnya dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang dihidangkan di rumah. Kemajuan teknologi informasi dan atmosfir demokrasi yang semakin kondusif memberikan akses tak terbatas atas beragam berita daninformasi yang berseliweran dalam hitungan detik. Publik pun tinggal memilih antara media massa, media eletronik, media online atau media sosial? Barangkali inilah salah satu anugerah demokrasi yang patut disyukuri rakyat Indonesia.

Media pun didapuk peran dan harapan untuk mencerdaskan suatu bangsa, termasuk didalamnya pendidikan politik. Lewat media, publik dapat memantau kiprah parpol di meja legislatif. Dengan media, publik dapat mengkritisi efektifitas suatu kebijakan pemerintah. Dan akhirnya, media dapat mengungkap fakta apakah praktek-praktek politik dan para elitnya telah memberikan sumbangsih pada peningkatan kehidupan rakyat.

Ambil contoh, acara debat caleg yang ditayangkan di sebuah stasiun TV sebenarnya bisa memberikan teaser kepada pemirsa calon pemilih, parpol mana yang memiliki visi misi dan konsep yang menjanjikan. Parpol mana yang memiliki sistem dan stok kepemimpinan paling ideal. Ataupun masyarakat dapat menilai parpol mana yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan mana yang serigala berbulu domba dalam memperjuangkan nasib rakyat. Pertanyaannya, apakah hal-hal demikian menjadi minat perhatian publik yang mampu mencerdaskan wawasan politik rakyat?

Pemberitaan yang masif terkait kasus-kasus korupsi yang menjerat elite parpol, tokoh tokoh yang hilir mudik di teras gedung KPK, ataupun praktik politik transaksional dalam gedung perwakilan rakyat seringkali menjadi headline berita yang memancing perhatian publik. Derasnya pemberitaan demikian seakan mengubur rasa ingin tahu publik terhadap bagaimana proses politik itu seharusnya berlangsung, apakah hak, kewajiban serta peran yang dapat dimainkan rakyat dalam fungsionalisasi politik, dan apakah proses politik tersebut lantas memberikan efek pada pengentasan kepentingan rakyat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang? Walhasil itu semua berujung pada apatisme masyarakat yang semakin mengemuka terhadap dinamika politik yang berlangsung. Rakyat pun terlanjur menganggapnya sebagai aksioma dalam dunia politik.

Hal tersebut dapat terlihat ketika parpol bergegas memperebutkan simpati rakyat dalam aksi penanggulanan bencana misalnya sinisme kolektif yang digalang media bak gayung bersambut. Parpol ditengarai menggunakan modus untuk mendulang simpati dan suara. Semestinya ini adalah hal yang wajar sebagai kontribusi kontestan politik untuk masyarakat, tanpa harus dicurigai terlalu berlebihan selama tidak ada unsur money politic. Kasus korupsi anggota legislatif yang kerap menyita perhatian publik juga dikhawatirkan menutupi pengawasan publik terhadap patologi korupsi yang berjangkit di tubuh birokrasi.

Anehnya pada saat perhelatan pemilu ataupun pilkada kita dipersaksikan sebuah anomali khas Indonesia : dimana pesta demokrasi yang gegap gempita itu laksana kanvas catwalk para kontestan, caleg, capres yang mempertontonkan liukan casing dan atribut kontestan. Bukan isi otak dan nurani. Semua dibuat limbung oleh “extacy politik”. Dan tiba-tiba kita pun lupa akan rekam jejak, tingkah polah, dan kesalahan para pelaku politik di masa lalu. Lantas kehadiran mereka pun dinanti-nanti sebagai sinterklas politik yang dapat mengobati penderitaan rakyat bertahun-tahun secara instan hanya dengan lembaran rupiah.

Harus diakui, teknologi informasi telah berekses mengubah gaya hidup masyarakat terutama masyarakat urban yang hanya bergantung dari supply berita dari media tapi enggan mengkomparasi kinerja pelaku politik di kehidupan sekitar mereka. Seharusnya ada mekanisme check and balances dari masyarakat sebagai calon pemilih. Perilaku seperti ini akan rentan terbawa opini yang di-drive media mainstream. Bukan rahasia lagi, bahwa media saat ini bukan pengawas yang netral dari kepentingan. Menurut Noam Chomsky, semua media massa telah menyebarkan informasi yang telah mengalami filterisasi (10 stategies of manipulation by media). Noelle-Neumann (penelititeori komunikasi) menyebutkan salah satu karakteristik media adalah konsonansi. Yaitu tendensi orang-orang berita untuk menginformasikan ide dan opini mereke sendiri dan “sepertinya” opini ini berasal dari publik. Apatah lagi bila para owner media besar malah berbondong-bondomg menjadi pemain dalam bursa politik.

Menurut saya perilaku politik yang menyimpang itulah yang harus diperangi oleh kita semua. Dan media membantu memberikan edukasi kepada masyarakat. Ini adalah tanggung jawab kita semua kalau kita ingin masa depan bangsa yang lebih baik.

Sudah barang tentu semua pelaku politik seharusnya senantiasa memberikan teladan bagi masyarakatnya, menjadi role model dalam kontribusi terhadap peningkatan taraf hidup lingkungannya. Pelaku politik di semua level seharusnya dipilih dari warga yang unggul karena kapasitas keilmuan, moralitas, dan gagasan. Bukan yang semata dilihat dari ketersediaan fulus dan pengikut an sich.Dengan demikian masyarakat dimudahkan dalam mencari figur yang memiliki kualitas yang mampu memimpin bangsa ini menuju kehidupan berbangsa yang lebih bermartabat dan sejahtera. Namun yang tidak boleh lupa filsafat Islam mengatakan : “kamaa takuunuu, yuwalla ‘alaikum (sebagaimana kalian, demikianlah pemimpin kalian).

Selamat memilih untuk Indonesia Yang Lebih Baik!

Ranu Fatah

Koordinator LINKOPRA

[Lingkar Kajian Sosial Pembangunan Halmahera]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun