Mohon tunggu...
Ranto Sibarani
Ranto Sibarani Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara -

Ranto Sibarani adalah seorang Advokat/Pengacara. Saat ini sedang menyelesaikan study Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, juga aktif sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mitos Keperawanan, Kekerasan Perempuan dan Kepentingan Pasar

31 Mei 2015   15:16 Diperbarui: 19 April 2016   13:41 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="perawankah?"][/caption]

Keperawanan adalah suatu hal yang banyak dibicarakan pada saat ini. Baru-baru ini ada pejabat negara yang mengusulkan agar pelajar perempuan di sekolah lanjutan agar di uji keperawanannya, kita tidak tahu tujuannya. Bahkan saat ini seringkali pula kita mendengar ada operasi atau pengobatan untuk mengembalikan keperawanan. Semua hal tersebut yang terkait dengan keperawanan adalah suatu situasi yang ada pada perempuan dan dituntut oleh laki-laki.

Perawan atau sering disebut virgin berasal dari bahasa Latin virgo atau gadis, perawan. Istilah ini juga punya kaitan erat dengan istilah virga, yang artinya baru, ranting muda atau cabang yang tidak berbentuk. Saat ini, perawan sering disebut sebagai situasi dimana seorang perempuan belum pernah melakukan hubungan seksual dan dibuktikan dengan keluarnya darah dari robeknya vagina saat melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya. Begitulah pengertian perawan yang tersebar luas saat ini di masyarakat kita, jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perempuan tersebut tidak layak disebut perawan.

Darah yang keluar saat hubungan seksual sebenarnya terjadi karena robeknya selaput dara atau hymen yaitu lipatan membran yang menutup sebagian luar vagina pada wanita. Terdapat berbagai macam bentuk selaput dara. Bentuk selaput dara paling umum adalah sabit. Setelah seorang wanita melahirkan, selaput dara yang tertinggal disebut carunculae myrtiformes. Selaput dara tidak memiliki fungsi anatomi yang diketahui. Di saat seorang wanita mencapai usia pubertas, selaput dara menjadi elastis. Tentang darah perawan, faktanya hanya 43% wanita melaporkan pendarahan ketika mereka pertama kali melakukan senggama.[1]

Padahal, dibeberapa negara lain, perawan bisa disebut sebagai situasi dimana seorang perempuan belum pernah menikah. Meskipun seorang perempuan sudah berkali-kali melakukan hubungan penetrasi seksual, selama dia tidak menikah maka perempuan tersebut masih dianggap perawan. Jadi, keperawanan sebenarnya sangat beragam dimaknai oleh manusia. Namun yang harus diingat, keperawanan adalah tuntutan laki-laki dari seorang perempuan. Ironisnya, kita belum pernah mendengar ada perempuan menuntut keperjakaan seorang laki-laki. Bahkan kita tidak pernah mendengar perempuan menuntut laki-laki untuk juga “berdarah” saat malam pertama. Mengapa hal tersebut terjadi? Hal ini bisa terjadi karena kuatnya dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Mitos Dan Fakta Tentang Keperawanan

Mitos: setiap perempuan dilahirkan dengan memiliki selaput dara. Fakta: ternyata tidak. Tidak semua perempuan lahir dengan selaput dara pada vaginanya. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa bayi perempuan lahir tanpa selaput dara. Mitos: selaput dara bentuknya sama pada setiap perempuan, seperti selaput tipis tanpa lubang.Fakta: salah besar. Seperti juga manusia memiliki wajah yang berbeda, demikian juga selaput dara. Selaput dara memiliki lubang atau pori yang bentuknya bervariasi. Lubang pada selaput dara dapat bertambah lebar setelah seorang perempuan mengalami menstruasi yang pertama kali.

Mitos: operasi pemulihan selaput dara sangat diperlukan bagi perempuan yang akan menikah tetapi selaput daranya sudah tidak utuh lagi. Fakta: operasi pemulihan selaput dara memang selalu menimbulkan pro dan kontra. Sebetulnya apabila semua orang sudah memiliki pemahaman tentang selaput dara seperti yang dijelaskan di atas, operasi sama sekali tidak diperlukan.[2]

Dengan demikian, jelas sekali bahwa perawan tidak selalu harus selalu mengeluarkan darah pada malam pertama. Perawan atau selaput dara bisa saja robek karena aktifitas fisik saat bersepeda, atau berolahraga lain. Yang pasti, keperawanan seorang perempuan jika dianggap sebagai suatu kenyataan belum pernah melakukan hubungan seksual melalui vagina, hanya siperempuan tersebutlah yang mengetahui.

Keperawanan, kekerasan terhadap perempuan dan pasar.

Dari uraian diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa keperawanan bukan hanya persoalan keluarnya darah pada malam pertama, namun ini terkait dengan tuntutan laki-laki terhadap perempuan yang sifatnya memaksa. Kenapa memaksa? Karena jika pada malam pertama laki-laki tidak menemui darah, maka akan terbentuk opini bahwa si perempuan tidak lagi perawan. Padahal bisa saja selaput dara si perempuan tersebut sudah robek karena berolahraga, kecelakaan atau sejak lahir sudah tidak ada selaput daranya.

Tekanan psikologi yang muncul pada perempuan karena dianggap oleh pasangannya sudah tidak perawan adalah suatu bentuk kekerasan. Kegagalan kita dalam memahami tindakan ini sebagai kekerasan turut memberikan kontribusi penindasan penindasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, setiap perempuan yang mendapat tekanan dari pasangannya dengan tuduhan tidak perawan lagi adalah korban kekerasan psikologis yang dilakukan oleh pasangannya. Ketakutan akan mendapat tuduhan tidak perawan dari pasangan telah membuat banyak perempuan saat ini berlomba-lomba untuk memeriksakan keadaan selaput daranya kepada ahli medis, yang tentu saja membutuhkan biaya tidak sedikit.

Jika hasil pemeriksaan selaput daranya terbukti robek karena aktifitas olah raga atau karena pernah melakukan hubungan sex melalui vagina maka tidak sedikit perempuan saat ini yang melakukan operasi keperawanan hanya untuk menghindari tuduhan tidak perawan dari pasangannya. Tidak tanggung-tanggung, biaya operasi mengembalikan keperawanan ini bahkan mencapai 18 Juta Rupiah.[3] Dengan demikian, lagi-lagi pasar dengan cepat menangkap peluang bisnis dari tuntutan laki-laki terhadap perempuan. Tuntutan bahwa perempuan harus mengeluarkan darah sebagai bukti masih perawan mendapat sambutan pasar, dengan demikian, pandangan bahwa keperawanan adalah harus mengeluarkan darah saat melakukan hubungan sexual pertama kali patut dicurigai dipelihara oleh pasar yang mendapatkan untung dari pandangan tersebut.

Kesimpulan

Masyarakat (baca: laki-laki) kita saat ini masih menganggap penting sebuah keperawanan, meskipun harus disadari bahwa hal ini tidak adil, karena hal yang serupa tidak pernah dipersoalkan dalam melihat keperjakaan seorang laki-laki. Pandangan bahwa keperawanan harus dibuktikan melalui keluarnya darah harus di dekonstruksi, teori Jacques Derrida mungkin bisa digunakan untuk mendekonstruksikan pandangan tersebut.[4] Mengikuti logika Derrida, bahasalah yang menentukan pikiran, bukan sebaliknya. Kita harus mampu membongkar siapa yang berkepentingan terhadap isu keperawanan, kata “perawan” harus dikuliti maknanya. Jangan-jangan semua orang yang mengakitkan keperawanan terhadap moral dan agama sedang terjebak dalam skenario pasar dan sistem ekonomi yang berlangsung.

Untuk itu, setiap perempuan jangan sampai terjebak pada situasi ketakutan karena selaput daranya robek oleh karena kegiatan fisik seperti berolahraga atau kecelakaan. Jika anda pernah melakukan hubungan sexual vagina diluar nikah dan menyebabkan anda tidak perawan, anda berhak untuk menjelaskan atau tidak menjelaskan kenyataan tersebut kepada pasangan anda, tergantung pada nilai yang anda anut. Jika pasangan anda benar-benar mencintai anda, maka sudah seharusnya dia menerima anda sebagaimana adanya.

Karena itu, keperawanan saat ini telah menjadi salah satu komoditas pasar yang dikemas sedemikian rupa sehingga harus dianggap sebagai sesuatu keharusan yang ada pada perempuan. Karena kuatnya dominasi pasar dan laki-laki terhadap perempuan, maka hari-hari ke depan kita masih akan disuguhi dengan kenyataan bahwa banyak pihak yang akan menuntut dilakukan uji keperawanan kepada pelajar-pelajar dengan tuntutan untuk mencegah pergaulan sex bebas, namun pasar akan berada jauh di depan untuk mengembalikan keperawanan tersebut dengan harga yang tidak murah. Lagi-lagi tuntutan moral akan dijadikan peluang oleh pasar.

Oleh: Ranto Sibarani

Pernah menjadi bahan diskusi di Cangkang Queer Bulan Desember 2014

[1] http://forum.kompas.com/perempuan/208969-keperawanan-mitos-atau-fakta.html, diakses 19 Desember 2014.

[2] Ibid

[3] http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/05/di-samarinda-biaya-operasi-balik-perawan-hanya-rp-18-juta diakses 19 Desember 2014.

[4] Christoper Norris. 2008. Membongkar Teori Dekosntruksi Jacques Derrida. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun