Mohon tunggu...
Rani elisa purba
Rani elisa purba Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang belajar dan mengajar

Sibuk untuk hidup atau sibuk untuk mati. Menulislah selagi hidup, karena hidup bukan soal durasi tapi kontribusi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Waktunya Pulang

6 Maret 2022   13:37 Diperbarui: 6 Maret 2022   13:41 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku linglung setelah melakukan pertarungan mengerikan. Diawali saat sosok yang sangat berkuasa menghampiri dan menginginiku. Tubuhku yang tegap dan berotot seolah tiada harganya dibandingkan dengan lengannya yang perkasa. Sekuat tenaga aku menahan diri, mencoba berteriak berharap suaraku menembus tembok hingga tetangga sekitar menolongku. Kukumpulkan tenaga yang tersisa sambil membayangkan senyummu yang manis saat kita bertemu sore  nanti di taman kota berharap hal ini mampu memberiku kekuatan namun semuanya hanyalah upaya menjaring angin. 

Aku merasa tubuhku sangat ringan melayang menembus langit-langit kamar seolah gravitasi bumi tak mampu menahan untuk tetap berdiri di atas tanah. Aku merasa bagai orang gila, kepalaku pusing tak tertahankan mungkin saja tadi sempat terbentur parah saat bertarung pikirku, penglihatankupun menjadi buram hingga merasa dunia ini menjadi sangat sepi. Aku memaksakan diri untuk berjalan sambil berharap menemukan seorang manusia yang ku kenal entah itu kau yang selalu kurindukan atau siapapun yang bisa membantuku. Aku benar-benar gila pikirku dalam hati nyaris frustasi dalam dunia yang sepi ini

Dari kejauhan terdengar suara tangisan yang meraung-raung, suara tangis itu menandakan suatu kesedihan yang sangat dalam. Aku berjalan mencari sumber suara itu, hingga suara itu makin dekat di telinga namun tidak ada seorangpun yang aku lihat diujung jalan panjang itu. Seluruh sisa tenaga aku fokuskan berlari lebih kencang sebelum suara itu hilang dan kemudian Buuummmmmmmmmmmmmm jalanan itu berubah menjadi sangat menyilaukan mata hingga aku tak sanggup melihat apapun. 

Aku terjatuh sambil menutup mata menghindari cahaya itu kemudian terdengar suara berat bergema berkata "Sudah waktunya pulang Anaku, masuklah telah tersedia tempat bagimu". sepasang tangan yang lembut membantuku untuk berdiri dan perlahan cahaya silau itu mulai meredup. Sesungguhnya aku tidak yakin apakah cahayanya meredup atau aku sudah beradaptasi. Mataku tertuju pada salah satu kursi sosok wanita yang kusebut ibu, ia menghampiri dan memelukku. Pelukannya masih hangat seperti belasan tahun silam disini aku menyadari bahwa aku telah berpulang ke dimensi yang sama seperti ibuku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun