Mohon tunggu...
Mirna Aulia
Mirna Aulia Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang musafir. Generasi anak SD era 80-an. BUKAN pengguna Facebook. BUKAN pengguna Twitter. BUKAN pengguna Linkedin. BUKAN pengguna Path. BUKAN pengguna Instagram. Hanya memiliki empat akun Sosmed: kompasiana.com/raniazahra, mirnaaulia.com, Indonesiana (Mirna Aulia), dan CNN iReport (Mirna Aulia) . Banyak orang memiliki nama yang sama dengan nama musafir (baik di media-media sosial maupun di search engine). Sehingga, selain keempat akun di atas, kalau pembaca menjumpai nama-nama yang sama, itu BUKAN AKUN musafir. Untuk hasil pencarian melalui search engine: musafir BUKAN berlatar belakang dan TIDAK berkecimpung di bidang Kedokteran Gigi, Farmasi, Psikologi, Biologi, MIPA, Kepartaian, Kehutanan, Lembaga-lembaga Kehutanan, maupun Pertanian. Selamat membaca dan semoga artikel yang musafir tulis dapat bermanfaat bagi para pembaca semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menikah karena Allah, Usia, atau Tuntutan Sosial?

2 September 2015   11:18 Diperbarui: 4 April 2017   18:16 4802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HUKUM ASAL NIKAH (dalam Agama Islam) adalah JAIZ/mubah (artinya, BOLEH), sehingga bukan wajib.

Secara keseluruhan, hukum nikah dalam Islam ada 5 (lima) :

  1. Jaiz atau mubah (diperbolehkan, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, bagi mereka yang tidak terdesak oleh syahwat). Ini adalah hukum asalnya.
  2. Sunat, artinya: kalau dikerjakan (sesuai dengan syariat Islam) mendapat pahala, kalau ditinggalkan tidak berdosa, sehingga lebih utama untuk dikerjakan. Hukum ini berlaku bagi orang yang sudah berkehendak/ berkeinginan menikah dan sudah mampu (dalam hal nafkah dan lain-lain).
  3. Wajib, artinya harus dikerjakan. Hukum ini berlaku bagi orang yang sudah cukup/ mampu dalam hal nafkah dan lain-lain serta takut akan tergoda pada kejahatan zina.
  4. Makruh, artinya lebih baik tidak dikerjakan. Hukum ini berlaku bagi orang yang belum mampu memberi nafkah, walaupun ia sudah ingin menikah. Golongan ini dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa berdasarkan hadits Nabi SAW : “Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.”(HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).
  5. Haram, artinya tidak boleh dikerjakan (berdosa kalau dikerjakan). Hukum ini berlaku bagi orang yang berniat menikah untuk menyakiti orang yang dinikahi, misalnya karena dendam, sakit hati, dll; berniat untuk merampas harta orang yang dinikahi; dan niat-niat lain yang dilarang menurut syariat Islam; serta bagi orang yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab sehingga dikhawatirkan akan menelantarkan keluarganya.

Allah SWT berfirman:“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 32).

Ayat di atas bukan berarti orang yang miskin begitu ia menikah lantas ia menjadi mampu/kaya. Kalau demikian, maka Islam pasti akan mewajibkan orang yang miskin untuk menikah, dan manusia pun tidak perlu pusing-pusing lagi memikirkan bagaimana solusi mengatasi kemiskinan, karena cukup dengan menikah maka orang yang miskin akan menjadi mampu. Kenyataannya, dalam Islam, hukum menikah bagi orang yang belum mampu memberi nafkah (walaupun sudah ingin menikah) adalah makruh.

Manusia harus ingat bahwa ia belum tinggal di alam akhirat (syurga) yang merupakan alam pembalasan, di mana ketika manusia menginginkan apapun di dalam syurga, maka saat itu juga Allah SWT berfirman “Kun Fayakun! (Jadilah! Maka, jadilah ia.)”, dan terkabullah segala keinginannya saat itu juga. Manusia sekarang masih menjalani fase hidup di dunia, di alam ikhtiar agar bisa memetik balasan di alam pembalasan (akhirat) kelak, sehingga ia pun terkena hukum sebab-akibat, ada ikhtiar maka ada hasil.

Selama manusia hidup di dunia ini, ia tidak akan bisa terlepas dari hukum dunia ini, yaitu hukum sebab akibat, dan manusia diwajibkan untuk berikhtiar. Seorang miskin yang akan dimampukan oleh Allah SWT melalui pernikahan, akan memiliki tanda-tandanya yaitu sudah ada ikhtiar, misalnya sudah memiliki pekerjaan, mampu mencari nafkah dan sudah ada sumber nafkah. Bukan miskin yang tanpa ada tanda-tanda ikhtiar (misalnya: tidak punya pekerjaan dan malas mencari kerja) lantas bisa menjadi mampu hanya dengan menikah.

Dalam ayat selanjutnya pun Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang belum mampu menikah hendaklah menjaga kehormatan dirinya, hingga Allah memberinya kemampuan dengan limpahan karumia-Nya…” (Q.S An-Nur: 33)

Lalu, bagaimanakah hukum seorang wanita mukmin yang belum sempat menikah sampai ia meninggal dunia? (Saya menyebut wanita karena yang disebutkan dalam hadist Nabi SAW yang menerangkan mengenai masalah ini adalah wanita.)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri r.a, bahwasanya ada seorang sahabat yang datang menghadap Rasulullah SAW  bersama putrinya.

Ia mengadu kepada Rasulullah SAW, “Putriku ini menolak untuk menikah.”

Rasulullah SAW kemudian menasehati, “Taatilah bapakmu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun