Mohon tunggu...
Mirna Aulia
Mirna Aulia Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang musafir. Generasi anak SD era 80-an. BUKAN pengguna Facebook. BUKAN pengguna Twitter. BUKAN pengguna Linkedin. BUKAN pengguna Path. BUKAN pengguna Instagram. Hanya memiliki empat akun Sosmed: kompasiana.com/raniazahra, mirnaaulia.com, Indonesiana (Mirna Aulia), dan CNN iReport (Mirna Aulia) . Banyak orang memiliki nama yang sama dengan nama musafir (baik di media-media sosial maupun di search engine). Sehingga, selain keempat akun di atas, kalau pembaca menjumpai nama-nama yang sama, itu BUKAN AKUN musafir. Untuk hasil pencarian melalui search engine: musafir BUKAN berlatar belakang dan TIDAK berkecimpung di bidang Kedokteran Gigi, Farmasi, Psikologi, Biologi, MIPA, Kepartaian, Kehutanan, Lembaga-lembaga Kehutanan, maupun Pertanian. Selamat membaca dan semoga artikel yang musafir tulis dapat bermanfaat bagi para pembaca semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Militerphobia Dalam Reformasi dan Reformasi dalam Bayang-bayang Reformaphobia

6 Juni 2013   18:33 Diperbarui: 2 Oktober 2015   01:30 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Militerphobia yang menjangkiti kalangan elite politik, juga berpengaruh terhadap keputusan politik NKRI.  Banyak di antara elite politik yang berpendapat bahwa militer tidak perlu diintensifkan, karena NKRI adalah negara yang damai dan demokratis. Imbasnya, anggaran militer kurang mendapat porsi yang memadai. Peremajaan dan penyediaan alutsista menjadi tersendat-sendat, sehingga alutsista militer NKRI tidak memadai lagi untuk mendukung pertahanan di seluruh wilayah NKRI yang sedemikian besar ini. Sementara di luar sana, kondisi dan perkembangan kemiliteran berlangsung sangat dinamis. Teknologi dan sistem militer terus diperbaharui. Metode-metode militer baru bermunculan dengan cepat sejalan dengan perubahan dan perkembangan ilmu dan teknologi kemiliteran yang disesuaikan pula dengan dinamika situasi dan iklim politik internasional.

 

Sementara di NKRI ini, kita masih berkutat pada perdebatan mengenai perlu atau tidaknya pengintensifan militer. Kita lupa bahwa situasi dan kondisi NKRI yang relatif stabil dan disegani, serta dikelilingi oleh negara-negara tetangga yang bersahabat adalah bagian dari sebuah nostalgia masa lalu, di tambah lagi dengan situasi dan kondisi politik dunia yang berlangsung dengan sangat dinamis. Bagaimanapun, rakyat dan pemerintah NKRI harus selalu ingat bahwa dalam dunia politik tidak pernah ada yang dinamakan sahabat permanen, karena yang permanen hanyalah kepentingan.

 

Seperti yang dikemukakan oleh Letjen TNI (Purn). Sayidiman Suryohadiprojo dalam Si Vis Pacem Para Bellum(***), bahwa NKRI memiliki faktor geostrategi penting dengan berada di posisi silang, sehingga tidak mudah diganggu secara fisik, tanpa mengakibatkan dampak luas bagi pengganggu, serta kondisi dunia internasional.

 

Kita mungkin berasumsi pada potensi menguntungkan dari adanya faktor geostrategi ini, sehingga memandang pengintensifan militer tidak perlu dilakukan. Militerphobia telah membuat rakyat NKRI tidak mampu lagi melihat dan menganalisa secara obyektif peran dan fungsi militer yang sangat vital dan signifikan bagi stabilitas jalannya pemerintahan serta dalam pertahanan negara, baik secara internal maupun eksternal. Ini juga membuat  rakyat NKRI tidak menyadari adanya potensi-potensi internal dan eksternal yang sangat berbahaya bagi kedaulatan negara, jika militer tidak mengambil peran sesuai dengan proporsi yang sebenarnya.

 

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Jenderal Jomini mengenai garis luar (exterior-lines) dan garis dalam (interior-lines) dalam ilmu perang, sebuah negara yang dapat mengepung negara musuh melalui beberapa arah atau sebuah negara yang bersekutu dengan negara lain untuk mengepung negara musuh disebut sebagai negara pada posisi garis luar. Sebaliknya, sebuah negara yang menghadapi ancaman pengepungan atau kemungkinan permusuhan dari beberapa arah, disebut sebagai negara pada posisi garis dalam. NKRI merupakan negara yang sangat kaya akan sumber alam, memiliki potensi pasar sangat besar mengingat jumlah penduduknya adalah yang terbesar kelima di dunia, dan secara geografis berada pada perlintasan antarnegara dan antarbenua dengan wilayah udaranya yang sangat strategis bagi penempatan orbit satelit, yaitu di sekitar garis equator. Demikian pula secara geopolitik, keberadaan NKRI pada posisi silang dengan jumlah penduduk yang sangat besar, ditambah lagi dengan latar belakang NKRI sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, mau tidak mau menjadikannya sebagai arena perebutan pengaruh yang sengit antara berbagai macam ideologi politik penting, yaitu kapitalisme, liberalisme, sosialisme, dan komunisme. Ini mengingat ada beberapa negara raksasa yang sangat berkepentingan dengan segala potensi yang dimiliki oleh NKRI di antaranya Amerika Serikat dengan kapitalisme, liberalisme, dan agenda besarnya mengenai perang melawan terorisme. Kemudian ada China dengan sosialismenya yang sudah tentu sangat bertentangan dengan ideologi politik Amerika Serikat.

 

Berdasarkan analisa-analisa tersebut maka NKRI berada pada posisi garis dalam. Ini adalah posisi yang lemah dan sangat rawan bagi sebuah negara. Eksistensi potensi-potensi NKRI yang krusial dan strategis tersebut apabila tidak disertai dengan perimbangan teknologi dan sistem pertahanan negara yang kuat, akan menciptakan sebuah peluang emas bagi negara-negara lain yang sangat berkepentingan dengan segala keunggulan NKRI, untuk mengintervensi  NKRI, kemudian melakukan berbagai cara penetrasi subversif, sampai pada tahap yang akhirnya dapat membahayakan kedaulatan negara dan mengancam keselamatan rakyat NKRI.


 

Beberapa contoh bahwa sebenarnya NKRI memiliki potensi ancaman dan bahaya yang nyata adalah kejadian pada tanggal 24 Agustus 2004, ketika Australian Strategic Policy Institute menyatakan bahwa berdasarkan pendapat rakyat Australia (31%), NKRI merupakan ancaman utama bagi Australia. Ditambah lagi negara tersebut menempatkan dirinya sebagai sekutu utama Amerika Serikat di wilayah Pasifik Barat Daya. Sehingga tidak menutup kemungkinan apabila cepat atau lambat, negara tersebut akan memasukkan NKRI sebagai negara musuh atau axis of evil bagi negaranya. Ini adalah hal yang tidak boleh diremehkan oleh NKRI. Kemudian ada China yang juga pernah menyatakan bahwa seluruh pulau yang berada di wilayah Lautan China (yang berarti termasuk wilayah Laut China Selatan) merupakan wilayah nasional China. Sebagai contoh, kepulauan Natuna milik NKRI yang sangat kaya akan sumber minyak dan gas bumi secara geografis berada di wilayah Laut China Selatan. Ini adalah hal yang harus diperhatikan secara serius oleh NKRI.

 

Kembali ke persoalan semula, mau tidak mau, persoalan krusial antara sipil – militer harus segera dituntaskan agar militer dapat menjalankan perannya secara optimal, mengingat perkembangan politik internasional yang begitu dinamis dan dapat menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan stabilitas dan kedaulatan NKRI.

 

Pada kasus sekarang, apabila era reformasi ini dianggap gagal dan membuat rakyat justru semakin menderita, maka pada titik kulminasi tertentu, akan terjadi lagi sistem pergantian politik dengan meninggalkan permasalahan krusial era reformasi. Akibatnya akan terjadi lagi berbagai macam gejala reformaphobia yang meluas dan menular di semua kalangan seperti halnya militerphobia. Segala hal yang berbau reformasi, serta berbagai bentuk keterbukaan dan kebebasan yang menjadi landasan pemikiran kaum reformis, akan membuat rakyat trauma. Secara analogi, tidak menutup kemungkinan bahwa wabah reformaphobia akan berjangkit lebih parah dari wabah militerphobia. Maka sebisa mungkin, masalah krusial pada era reformasi ini diselesaikan dengan tuntas agar tidak terjadi reformaphobia di kemudian hari.

 

Masalah pokok pada era reformasi ini adalah : 1)  political culture shock atas pergantian sistem politik dari era orde baru ke era reformasi, 2) disharmoni antara sipil – militer, 3) dekonstruksi moral dan kehilangan jati diri bangsa, dan 4) dekonstruksi etika politik (KKN, dll). Persoalan ketiga inilah yang menjadi akar dari segala permasalahan bangsa pada era reformasi ini. Sehingga multak dicari solusinya secara humanis dan holistik, untuk menghindari terjadinya reformaphobia.

 

Ketika militerphobia rakyat berkurang, maka antara sipil – militer akan bersinergi untuk menciptakan suatu sistem pertahanan negara yang kuat dan kembali kepada khittah, yaitu pertahanan negara berbasis rakyat. Seperti dikenal dalam ilmu perang, faktor penting dalam pertahanan negara adalah rakyat. Oleh karena itu, pada hakikatnya, sipil – militer tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus menjadi satu kesatuan harmonis, agar dapat menegakkan eksistensi sebuah negara, menciptakan stabilitas internal dan eksternal yang kuat, serta melindungi kedaulatan NKRI baik secara internal maupun eksternal pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun