Cinta seperti ini bisa hadir dalam relasi dengan siapa saja, baik kepada sesama manusia, hewan dan makhluk hidup lainnya, bahkan dengan diri sendiri. Semakin kita mampu mencintai diri sendiri dengan penuh penerimaan pada kelebihan dan kekurangan kita, semakin kita dapat membuka ruang untuk mencintai orang lain dengan cara yang sama.
Hal ini juga sejalan dengan ajaran Yesus, "Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri," Serta pemikiran Lao Tzu tokoh spiritual pendiri Taoisme yang mengingatkan bahwa penerimaan terhadap diri membuka jalan agar dunia pun bisa menerima kita.
Cinta Bersyarat
Cinta bersyarat adalah bentuk kasih yang bergantung pada syarat tertentu dan tidak mengalir bebas, tapi datang dengan tuntutan. Cinta ini bukanlah berasal dari hati yang tulus, melainkan dari ego yang mengharapkan imbalan. Dalam cinta bersyarat, kasih sayang harus layak didapatkan dan diberikan hanya ketika seseorang memenuhi syarat tertentu
Berbeda dengan cinta tanpa syarat yang menerima apa adanya, cinta bersyarat membatasi dan mengontrol. Ia hadir hanya ketika situasi terlihat ideal atau menguntungkan.Â
Dalam hubungan seperti ini, sering kali terdapat pola-pola tersembunyi seperti, "Aku akan mencintaimu hanya jika kamu sudah memiliki segalanya" atau "Aku akan peduli padamu jika kamu memenuhi standarku".
Cinta yang didasarkan pada syarat semacam ini rapuh, mudah runtuh, menciptakan ketegangan, rasa takut, bahkan penderitaan. Banyak dari kita, sadar atau tidak, pernah berada dalam hubungan semacam ini, baik sebagai pihak yang menuntut atau yang merasa harus terus membuktikan diri untuk dicintai.
Untuk mencintai dengan sungguh-sungguh, kita perlu belajar melepas syarat-syarat itu dan membiarkan cinta menjadi ruang penerimaan, bukan transaksi.
Mengapa Kita Membutuhkan Cinta Tanpa Syarat?
Tanpa sentuhan kasih sayang dan perhatian tulus sang ibu, bayi akan mengalami hambatan emosional dan mental. Ini menunjukkan bahwa cinta tanpa syarat adalah bagian penting dari kesehatan jiwa dan raga.