Mohon tunggu...
Rangga Hilmawan
Rangga Hilmawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pemikiran adalah senjata Mematikan. Tulisan adalah peluru paling tajam

Seorang Pemuda Betawi - Sunda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[254] Bunga Anyelir

24 November 2020   00:44 Diperbarui: 24 November 2020   01:13 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk beberapa saat kebelakang, dan beberapa waktu kedepan, aku tidak bisa melihat senyumanmu yang selama ini menjadi semangat dan motivasiku untuk bertahan, walau semua hanya sebatas dalam lamun dan pikiran, tapi itu cukup menguatkan diri untuk tetap pada keyakinan, bahwa kamu adalah sebuah idaman.

Saat kutulis cerita ini, aku teringat obrolan santai kantin belakang kampus swasta di kota Bandung, tentang bagaimana bangsa ini dijajah oleh, sebut saja bangsa asing, entah itu Belanda, Jepang, Inggris, atau Portugis. Disitu kami berbincang tentang bagaimana kenyataan-kenyataan penjajahan, kekejaman, hingga sejarah masuk dan perdebatan seberapa lama kita sebenarnya dijajah. Benarkah kita dijajah selama 350 tahun oleh Belanda yang saat itu baru berdiri 10 tahun sebagai sebuah negara? atau mungkin mereka (belanda) pada saat itu sebagai kambing hitam dari satelit perdagangan Prancis? saya bukan seorang sejarawan, dan belum pernah mendalami semua itu secara ilmiah, namun banyak sekali logika yang tidak masuk pada pemahaman saya sekarang, jika kita mengingat cekokan pelajaran sekolah dasar, menengah, hingga atas. Puzle-puzle itu masih menjadi misteri, beberapa keping mungkin sudah ditemukan, namun belum ada yang berani untuk mengemukakan. Entah takur disalah artikan, atau mengganggu kepentingan kekuasaan. 

Biarlah itu menjadi pertanyaan besar bagi kita yang tidak terlalu perduli pada sejarah bangsa sendiri, bagi kita kaum rebahan yang hanya fokus pada perasaan dan pekerjaan, tetapi jika menjadi ampas kopi yang mampu di ekstraksi pada pikiran, silahkan diselesaikan. 

Dari memori yang muncul dipermukaan bersamaan dengan tulisan ini, aku teringat sebuah buku tentang Revolusi. Revolusi menjadi kata yang sangat "kiri" dan menakutkan dikalangan kita, kata itu identik dengan pemberontakan, kekacauan publik, dan korban jiwa. Tidak dengan Revolusi yang terjadi di Portugal pada 25 April 1974, mungkin satu-satunya sebuah kudeta yang tidak banyak memakan korban jiwa, Revolusi yang tidak berdarah, revolusi yang dilakukan dengan dasar cinta, kejadian itu dikenal dengan nama Revolusi bunga anyelir.

Massimiliano Martinelli memainkan bagatelle di a minor dengan cello-nya. menambah rangsangan otak untuk menulis sajak-sajak cinta dan kasih pada kamu yang sudah lama tidak terlihat oleh kedua mataku. lagi-lagi hany bisa berkata, "aku rindu" namun kali ini dengan beberapa kata didepannya. Aku mencoba memberanikan diri untuk memberikan pesan elektronik setelah hampir satu tahun hanya memandang foto profil blackberry messenger milikmu. berisikan :

Selamat ulang tahun.

Harinya Revolusi Bunga Anyelir, Perubahan menuju perbaikan kehidupan tanpa adanya pertumpahan darah.

Memanng indah, jika semua Revolusi bisa tanpa darah, tapi hanya portugal yang terpilih untuk bisa melakukannya.

Tepat pada tanggal 25 april, engkau lahir kebumi, menghirup udara, membuka mata, tangismu terdengar indah hingga mungkin orang disekitarmu menangis haru mensyukuri keajaiban hidup yang diberikan pada mereka oleh tuhan, melalui kamu.

Engkau sebuah keajaiban, yang mulai saat kemarin memberikan warna bagi kehidupanku melalui senyumu.

Mulai saati itu, aku suka bunga anyelir, Aku bisa selalu mengingatmu. Kapanpun kumau.

Aku persembahkan Anyelir merah untukmu, bukan sebagai tanda cinta, hanya sebagai penanda yang harus kau tau, bahwa aku selalu rindu.

Atas senyum yang kau berikan bukan terkhusus untukku, tapi dalam diam, aku mengagumi itu.

Terima kasih, pada harapan yang tidak pernah putus untuk teguh meyakinkanmu.

Pesan yang secara eksplisit menggambarkan ketidak mampuan diriku untuk berkata benar dan jujur pada perasaan, sekali lagi, aku belum siap untuk kehilangan senyum manis nan damai yang selalu asyik kunikmati. aku tidak siap untuk mengungkap jika akhirnya semua akan lenyap.

karena aku sudah mantap memilihmu dalam doa, menjadikan tanda-tanda yang selama ini kujaga untuk tetap dalam rencana-rencana. walau hanya sebatas berencana dan Tuhan penentu segalanya, aku percaya bahwa doa baik, akan mempunyai akhir yang baik juga. Semoga kita dapat bergenggam tangan suatu hari nanti, disaat aku sudah selesai dengan jalan memperbaiki diri.

Aamiin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun