Mohon tunggu...
Rangga Hilmawan
Rangga Hilmawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pemikiran adalah senjata Mematikan. Tulisan adalah peluru paling tajam

Seorang Pemuda Betawi - Sunda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[254] Cerita "Temanku"

16 November 2020   18:16 Diperbarui: 16 November 2020   18:34 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
perjalanan | pikist.com

Terdengar menyeramkan, tapi itu kenyataan yang harus temanku lewati. Belum melewati setengah perjalanannya menuju akhir dari timur harapan, dia dibuat bingung oleh persimpangan yang semuanya menyeramkan, ada satu jalan tertuju namun tidak menyeramkan, yaitu arah kembali jalan yang pernah ia lewati. Dari sini kelinci tidak banyak memberikan saran yang membantu, kelinci itu hanya berkata, berjalan sajalah, semua bisa kau lewati, namun kemungkinan kau bisa selamat dari semua jalan tersebut adalah 50:50, kecuali satu jalan ini, yaitu jalan menuju titik awal kau berada.

Beberapa hari dia dan kelinci hanya terdiam di persimpangan itu, tidak berani untuk mengambil sebuah keputusan, namun kelinci tetap setia dan menghibur temanku. Mereka saling berbicara tentang masalalu dari masing-masing kehidupannya. Temanku berbicara mengenai dunia luar yang sebelumnya dia miliki, dan harapan yang ingin dia gapai dimasa mendatang. Karena merasa iba, mungkin sekaligus kesal karena temanku tak kunjung memilih jalan, kelinci memberikan sebuah saran dan berkata : "kemballilah pada titik awal kau memilih, sebelum sampai pada awal perjalanan, kau akan bertemu aliran sungai, berjalanlah disisi sungai itu, namun kau harus melawan arus, yaitu pergi ke hulu." "Lalu apakah yang akan terjadi?" temanku bertanya secara spontan pada kelinci. 

Belum sempat terjawab, kelinci itu lari dengan cepat masuk ke semak-semak. Larinya terlihat tidak seperti kelinci yang dia kenal. Karena selama ini kelinci selalu memberikan petunjuk yang tidak membuatnya menderita dan kesulitan, temanku mengikuti sarannya. dia balikan badan, mencoba memantapkan langkah untuk kembali pada awal perjalanannya.

Temanku sudah mulai lelah, sedikit putus asa, terlintas di dalam pikirannya untuk menikmati keindahan hutan ini dengan tahu resiko yang akan terjadi. Beruntung temanku bisa menghilangkan lintas pikirannya barusan dengan membuka kembali secuil kertas bertuliskan "keyakinan". Jalan yang sama dia lalui secara perlahan untuk kembali, sesekali dia menarik nafas dan berjalan agak cepat, namun sadar akan keadaan, dia berjalan lagi secara perlahan dan berhati-hati, demi menjaga stamina dan kejernihan pikiran. Karena kepanikanlah mungkin yang akan membuatnya celaka.

Matanya terus tertuju kedepan, sambil sesekali mengingat lokasi sungai yang pernah dilaluinya, hari sudah mau gelap, pandangannya terbatas karena selain gelap, kabut tipis turun menutupi sebagian hutan. Dia harus mencari pohon untuk dinaiki, beristirahat dan berlindung dari hewan-hewan yang mungkin saja memakan dirinya saat malam dan terlelap. Banyak sebetulnya pohon untuknya beristirahat, namun dia harus keluar dari jalan setapak masuk ke dalam semaksemak untuk benar-benar bisa memilih pohon yang tepat untuk berlindung. Saat mencoba masuk ke dalam semak dan menuju satu pohon yang ia rasa cukup layak dijadikan tempat beristirahat menghabiskan malam, dia bertemu lagi dengan kelinci yang beberapa hari ini menemani.

Namun lagaknya berbeda seperti yang dia tau, kelinci ini melompat begitu tinggi, dan berlari sangat cepat bagai ceetah. Dia mencoba menyapa karena dirasa kenal. Hendak mendekati, kelinci ini membuka mulutnya dan memperlihatkan gigi yang tajam seraya bersiap untuk menerkam, temanku kaget sontak tak percaya dengan apa yang terjadi, dia berlali menghindari terkaman kelinci itu. Ditengah kelelahan dan sisa stamina yang sedikit, dia sadar jika berlaripun pasti akan tertangkap, namun ketika ia menoleh kebelakang, kelinci seperti mengikuti kecepatan dan irama lari temanku. Seperti ingin dan tak ingin untuk menerkam, tetapi sorot matanya memperlihatkan kebuasan alami hewan predator. Dia berlari kencang,
kelinci pun berlari kencang, ketika temanku tersandung, kelinci hanya bisa diam dibelakangnya dengan jarak kurang lebih dua meter. Bangkitnya dari jatuh karena sadar dalam bahaya, dengan tertarih-tatih berlari, kelinci ikut berlari mengejar dengan lagi-lagi kecepatannya seirama.

Kini hari benar-benar sudah gelap, hutan mengeluarkan nyanyiannya yang khas, saup-saup suara burung malam terdengar, bunyi daun yang bergesekan tertiup oleh angin menambah kengerian malam itu, dengan kakinya yang masih sakit karena terjatuh tadi, ia masih berusaha berlari menghindar dari sergapan sang kelinci, akhirnya ia tak sanggup lagi untuk berlari, fisik dan mentalnya benar-benar mempengaruhi aturan nafas yang masuk kedalam paru-paru melalui lubang hidung ataupun mulut. Temanku terjatuh, tumbang tak sadarkan diri, kelinci yang sedari tadi mengejarnya langsung terdiam, memperhatikan dengan tatapan yang sekarang susah untuk digambarkan.

Tetesan air embun dari daun jatuh tepat ke pipi temanku ini, akhirnya dia tersadar, hari sudah terang, teringat bahwa sedang dikejar oleh binatang yang menakutkan, dia langsung berdiri dan melihat sekeliling, mencoba menggambarkan keadaan saat dirinya terbangun, saat akan melangkah melanjutkan perjalanan karena rasa takut yang menghantuinya. Dia menginjak sesuatu tanpa disadari, dilihatnya ternyata sang kelinci tergeletak mati, bulunya yang putih bersih kini berubah menjadi warna merah, ada bekas sayatan di perutnya, terlalu rapih memang untuk dikategorikan sebagai akibat sayatan hewan buas, sesaat dia termenung, mencoba mengingat apa yang terjadi. Tapi sayang, karena memang ia tak ingat sama sekali.

Merasa dirinya mempunyai hutang jasa dan untuk beberapa saat menjadi temannya dalam perjalanan, dia lantas mencoba menguburkan kelinci itu sebagaimana mestinya. Perjalanan masih panjang dalam pikirannya, dia tak mau lagi bertemu dengan malam di hutan tersebut tanpa sesosok baik yang menemani perjalanan, dengan kaki yang ternyata sudah tidak merasakan kesakitan seperti kemarin. Tidak lama dia melihat aliran sungai yang tepat sekali dengan ingatannya, bahwa ia melemparkan balok untuk mempersenjatai diri disitu. Kali ini ada yang aneh dengan air sungai, normalnya air akan mengalir dari atas menuju bawah, tapi ini merupakan kebalikannya. Dia mengingat pesan si kelinci bahwa "harus melawan arus, yaitu pergi ke hulu". Jika dirinya pergi ke hulu, berarti saat itu dia mengikuti arus, tetapi jika dia pergi dengan melawan arus, berarti arahnya ke hilir? Tetapi aturan bakunya bahwa hulu adalah tempat awal air bermula mengalir, dan hilir adalah tempat air akhirnya bermuara. Ataukah aturan ini tidak berlaku? Ataukah hulu adalah hilir, dan hilir adalah hulu?

Tidak mau terlalu lama bergelut dengan teoriteori dan muslihat yang ada di hutan tersebut, dia kembali membuka secarik kertas yang bertuliskan "keyakinan". Dia mengambil arah menuju selatan, yakni melawan arus untuk menuju hilir yang dia pahami sebagai konsep baku dari aliran sungai. Dia berjalan disamping menyelusuri sungai tersebut, jauh ia melangkah, jalan setapak itu sudah tidak ada, mau tak mau ia harus berjalan melalui sungainya, atau masuk ke dalam sungai. Ternyata tidak terlalu dalam, hanya sebatas dada air tersebut, berjalan dengan melawan arus yang deras bukanlah perkara mudah, alkalies kakinya harus menginjak batu yang meruncing, namun tidak sampai melukai, adakali dia terjatuh namun tak sampai tenggelam, hanya terseret beberapa meter kebelakang yang membuatnya harus berjalan dengan tenaga yang penuh, karena pada dasarnya sungai yang dilalui menurun, jadi tenaga yang dikeluarkan akan lebih banyak ketimbang dia melewati jalan yang menanjak. Dari kejauhan dia melihat balok besar yang mengapung menghampiri, diambilnya untuk penyanggah dan membantu dalam meraba kedalaman sungai dari tiap langkah yang akan dilalui, tersadar bahwa kayu balok tersebut adalah kayu balok yang tempo hari dia buang untuk melawan macan hitam saat dirinya memutuskan berjalan menuju barat.

Singkat cerita dia berhasil menuju hilir sungai yang ternyata dihutan tersebut adalah sebuah hulu atau mata air, seperti sebuah danau besar. Dia tidak melanjutkan berjalan karena tahu bahwa kedalamannya pasti sangat dalam. Dia menuju sisi sungai untuk naik ke daratan, dinding daratan tersebut cukup curam, dia harus susah payah untuk bisa naik keatas dengan berpegangan pada akar-akar pohon yang merambat dengan cara merangkak. Ketika tangannya menyentuh ujung tebing tersebut, ada sepasang tangan menggengam salah satu tangannya, dia sontak kaget, namun tangan itu membantunya naik keatas. Karena merasa kaget tadi, temanku tak sadarkan diri untuk beberapa saat, terdengar samar-samar orang sedang berbincang, ada sebuah tenda dilihatnya, beberapa orang mengelilingi tubuh yang sudah sangat lemah dan basah kuyup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun