Mohon tunggu...
Rangga Agnibaya
Rangga Agnibaya Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Bagi Ilmu

Membaca, menulis, menonton film, dan sepak bola: Laki-laki.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kepakaran: Elitisme dalam Keilmuan yang Pantas Terbunuh? (Refleksi atas Buku "Matinya Kepakaran" Karya Tom Nichols)

13 Desember 2023   13:20 Diperbarui: 13 Desember 2023   13:24 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://findtheedge.com/

Perguruan tinggi sebagai penyedia jasa yang telah dibayar seolah wajib melayani para konsumen mahasiswa ini tidak hanya terkait dengan proses transfer of knowledge semata, di beberapa kasus juga keluhan-keluhan mereka yang bersifat remeh temeh.

Dengan memposisikan diri sebagai pelanggan, dan bukan calon ahli yang perlu ditempa, sebagian mahasiswa pelanggan ini menganggap proses perkuliahan sebagai formalitas belaka. Penulis sering berhadapan dengan mahasiswa pelanggan semacam ini.

Di akhir semester, mahasiswa pelanggan ini menuntut diberikan nilai maksimal, sebab selalu hadir di kelas saat perkuliahan, mengikuti Ujian Tengah Semester dan Akhir Semester (UTS/ UAS), serta mengumpulkan berbagai tugas yang diberikan, tanpa mempedulikan kualitas jawaban mereka saat ujian dan di dalam tugas yang dikumpulkan. "Saya sudah membayar, mengikuti semua tahapan kuliah, maka sudah selayaknya mendapat nilai paling maksimal", mungkin itu yang ada di dalam pikiran mahasiswa pelanggan. Mahasiswa calon pakar tentunya tidak akan berpikir demikian.

Jika kita tarik hubungan antara fenomena 'mahasiswa pelanggan' dan kecenderungan berpikir pada masa saat ini akan ditemukan benang merah yang jelas. Mahasiswa pelanggan hanya menitikberatkan pada hasil akhir, yakni nilai akhir yang nantinya tertera di transkrip nilai, tanpa peduli dengan proses yang harus dijalani. Mahasiswa semacam ini berpikir semata prosedural, dan menafikan unsur substansial dalam pendidikan, yakni transfer of knowledge dan transfer of value. Layaknya cara berpikir era modern yang dikritisi habis oleh Mazhab Frankfurt (Martin Jay, 2005), mahasiswa pelanggan tersebut menerapkan suatu cara berpikir yang menekankan pada 'maksud-tujuan' (mean-end). Mazhab frankfurt yang dikomandani oleh Adorno dan Horkeirmer melabeli cara berpikir ini sebagai 'Rasio Instrumental".

Dalam perspektif Mazhab Frankfurt, Rasio Instrumental merupakan suatu kondisi di mana rasio dijadikan 'alat' belaka bagi terpenuhinya kebutuhan manusia (Shindunata, 2019). Rasio instrumental sejatinya terjadi dalam relasi Subjek-Objek, seperti ketika manusia menghadapi alam. Namun, ketika rasio instrumental diterapkan dalam relasi sosial antara Subjek-Subjek, maka yang terjadi adalah hilangnya nilai. 

Pada tataran tersebut penindasan, peminggiran, eksploitasi, dan hilangnya nilai etis berpotensi terjadi. Relasi sosial antar subjek yang menggunakan rasio instrumental hanya akan menciptakan hubungan yang tidak seimbang, sebab satu pihak mendaku sebagai subjek yang lebih superior dari pihak yang lain. Hal ini dapat dilihat pada ruang-ruang kerja di sekitar kita, misalnya. 

Seorang pimpinan yang menerapkan rasio instrumental dalam menjalin interaksi dengan rekan kerjanya di kantor cenderung akan memandang rekan kerjanya tersebut sebagai alat-alat belaka dalam menunjang kinerjanya.

Artinya, rekan kerja merupakan objek dalam relasi Subjek-Objek yang dapat diperlakukan sekendak hati demi suatu tujuan. Lebih jauh lagi, rasio atau akal sehat akan dipaksa memberikan 'pembenaran-pembenaran' bagi situasi yang tidak baik tersebut: Rasio Instrumental.

Mahasiswa yang memposisikan diri sebagai pelanggan dalam aktivitas kuliahnya berpotensi terjebak dalam rasio instrumental juga. Ia melihat universitas berserta seluruh yang ada di dalamnya, termasuk dosen, sebagai alat-alat yang harus dapat membantunya meraih tujuan. 

Sebagai pelanggan yang telah membayar, mahasiswa cenderung memandang universitas semata objek yang telah ditundukkan. Apa yang diminta harus diwujudkan, termasuk nilai maksimal dengan proses yang minimal.

 Rasio instrumental mengarahkan mahasiswa pelanggan untuk mendesak dosen untuk selalu memberikan nilai maksimal, apa pun kualitas proses yang telah ditempuhnya. Ketika mahasiswa mendesak, bahkan merongrong dosen,  akhirnya muncul masalah baru, yakni etika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun