Mohon tunggu...
Rangga Agnibaya
Rangga Agnibaya Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Bagi Ilmu

Membaca, menulis, menonton film, dan sepak bola: Laki-laki.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan yang Membebaskan sebagai Praktik Kritik Ideologi: Refleksi atas Buku Pendidikan Kaum Tertindas Karya Paulo Freire

22 September 2022   07:49 Diperbarui: 22 September 2022   08:06 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.nz/Joel Thomas Bennett

Pendidikan, seperti halnya ISA yang lain: Kebudayaan, Agama, Hukum, Keluarga, dan Komunikasi, tidak bersifat memaksa atau represif, akan tetapi menghegemoni. Ia bermain di wilayah kesadaran. Konsekuensinya, segala sesuatu yang menjadi agenda negara, termasuk kemungkinan adanya ideologi penindasan, diterima sebagai sesuatu yang lumrah, apa adanya, dan diterima tanpa dipertanyakan lagi. 

Penindasan yang terjadi seolah telah disepakati oleh semua pihak, baik yang tertindas maupun yang menindas, sebagai konsesus yang adil. Dengan demikian, bisa dibayangkan betapa vitalnya ranah pendidikan dalam konstelasi kekuasaan. 

Pendidikan Hadap-Masalah (problem posing)

Untuk menggantikan pendidikan gaya bank yang dianggap hanya melayani ideologi penindasan, Freire menawarkan alternatif lain, yakni pendidikan ‘hadap-masalah’ (problem-posing). Pendidikan hadap-masalah yang ditawarkan Freire menekankan pada aspek persinggungan langsung murid dengan realits faktual. 

Jika pendidikan gaya bank menekankan peran sentral guru dalam ‘memasukkan dunia’ ke dalam benak murid, sebaliknya pendidikan hadap-masalah menuntut murid agar berhadapan langsung dengan dunia dengan segala kemungkinannya, sekaligus aktif melakukan pemaknaannya sendiri atas dunia. 

Dengan demikian, besar kemungkinan muncul kesadaran atas situasi yang sebenarnya sedang dialami melalui tindakan reflektif dan evaluatif: tertindas atau menindas, maju atau terbelakang, bodoh atau cakap, dan segala kondisi yang mungkin saja terjadi. Dalam konteks inilah kritisisme lahir.

Selanjutnya, ketika murid sudah menginsafi situasi dirinya, mereka sendiri yang harusnya menentukan hendak mempelajari apa, mencari wawasan tentang apa, meningkatkan kemampuan diri dalam hal apa, dan seterusnya, sesuai dengan tantangan dan masalah yang ada di dalam kehidupannya, serta target-target yang hendak dicapai. 

Peran guru hanya sebatas fasilitator. Freire juga menegaskan bahwa dalam pendidikan hadap-masalah terjadi hubungan resiprokal (kesalingan) antara guru dan murid. 

Guru berperan sebagai ‘guru sekaligus murid’, di sisi yang lain, murid juga berperan sebagai ‘murid sekaligus guru’. Keduanya menjadi aktor utama di dalam proses pendidikan. Tidak ada yang benar-benar bodah, dan tidak ada yang benar-benar tahu segalanya.

Program Kampus Mengajar (yang juga menjadi bagian dari program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka) dapat dijadikan gambaran bagaimana mahasiswa (sebagai murid) dihadapkan langsung dengan realitas faktual ketika mengajar di sekolah-sekolah yang ditunjuk. 

Mahasiswa dapat langsung merasakan masalah-masalah yang ada di dunia pendidikan, salah satunya: tantangan ketika mengajar di sekolah dengan fasilitas yang kurang menunjang, serta bertemu dengan berbagai karakter yang ada di lingkungan sekolah. Dengan bersinggungan langsung dengan fakta lapangan, dan tidak sebatas teori di dalam kelas, mahasiswa dilatih untuk tidak gagap ketika benar-benar terjun ke masyarakat kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun