Mohon tunggu...
Randy Tandjung
Randy Tandjung Mohon Tunggu... Culture Enthusiast

penikmat sejarah dan kopi arabica aktif di komunitas Svaraya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Bubarkan atau Reformasi DPR?

1 September 2025   08:00 Diperbarui: 1 September 2025   04:08 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung DPR Ri, Senayan, Jakarta Pusat. (AFP/YASUYOSHI CHIBA)

Benarkah DPR harus dibubarkan sebagaimana yang diteriakkan oleh massa aksi di gedung DPR? Sebagian besar mungkin setuju dengan pendapat bahwa kinerja DPR tidak dirasakan oleh rakyat, dengan begitu berarti kinerjanya sangat buruk. Namun, seburuk-buruknya DPR hari ini, dia tidak boleh dibubarkan. Negara kita membagi kekuasaan menjadi tiga (trias politica), yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tanpa legislatif, maka kekuasaan eksekutif jadi tidak terkontrol.  

Dahulu Sukarno pernah membubarkan DPR melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hal yang melatarbelakanginya adalah ketidakmampuan DPR dalam menyusun UUD yang baru. Situasi politik tidak stabil berakibat sering kocok ulang kabinet. Keluarnya dekrit presiden yang berisikan pembubaran konstituante, kembali ke UUD 1945 dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung sementara (DPAS) menandakan era baru telah dimulai, yakni Demokrasi Terpimpin. Demokrasi terpimpin yang lahir dari dekrit tersebut adalah pemusatan kekuasaan ditangan eksekutif, yakni Presiden Sukarno.

Hasilnya, pemerintahan berjalan tanpa kontrol. UU berhenti di produksi dan digantikan dengan Penpres (Penetapan Presiden) yang hanya dibuat dan disahkan oleh presiden. akhirnya Presiden sebagai lembaga eksekutif mempunyai kekuasaan tak terbatas. semua yang tak sejalan dengan pemerintah bisa dibubarkan begitu saja dengan penpres. kita tidak mau demokrasi kita mundur. Jadi menurut saya Reformasi DPR lebih layak jadi agenda bersama, menyangkut beberapa hal yakni Audit DPR, efisiensi anggaran: potong gaji dan tunjangannya untuk pembiayaan program yang lebih strategis yakni pendidikan dan kesehatan.

Problem DPR

Kinerja DPR sering dianggap tidak sejalan dengan aspirasi rakyat. Misalnya UU Cipta Kerja sangat tidak sejalan dengan keinginan rakyat, dimana rakyat berharap status kerja yang tetap untuk menjamin keberlangsungan hidup keluarga mereka. Rakyat butuh kepastian harga kebutuhan pokok yang terjangkau, namun DPR malah sibuk mengurusi UU Pilkada. Kemudian rakyat menginginkan pemberantasan korupsi lewat tuntutan pengesahan RUU Perampasan aset, tapi lagi-lagi DPR masih belum mengesahkannya. 

Gaji dan tunjangan DPR yang sangat besar menjadi persoalan besar jika tidak ada evaluasi terhadap kinerja DPR. Fenomena kursi kosong pada saat berlangsungnya rapat menjadi suguhan yang tak elok dipandang oleh mata rakyat. Bahkan Ahmad Dhani pernah mengakui bahwa ia masih bisa manggung pada pukul 4 sore, karena rapat sudah selesai di pukul 11 menjelang siang. Hal ini jelas menjadi problem serius. Ironi, bahwa disaat rakyat menderita karena kenaikan harga beras dan menurunnya daya beli, DPR malah mempertontonkan ketidakbecusannya dalam bekerja. Alih-alih ada evaluasi, mereka malah menerima kenaikan tunjangan. Besarnya gaji dan tunjangan DPR jelas-jelas membuat mereka sangat berjarak dengan rakyat.

Reformasi DPR

Presiden Prabowo Subianto dalam keterangan persnya usai berdiskusi dengan para ketua umum partai politik menyampaikan bahwa akan melakukan pencabutan beberapa kebijakan DPR RI termasuk besaran tunjangan anggota DPR dan juga moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. Dia juga meminta para wakil rakyat agar lebih peka pada aspirasi rakyat dan berpihak pada kepentingan rakyat. Selain itu, para ketua umum partai telah mencabut anggota DPR-RI dari kedudukannya di parlemen karena telah menimbulkan kekisruhan.

Sejauh ini penilaian saya terhadap langkah yang diambil oleh Presiden Prabowo sudah tepat. Namun ada beberapa hal penting sebagai langkah awal mereformasi DPR. Pertama, harus ada transparasi dan akuntabilitas terhadap kinerja DPR. DPR harus membuka akses ke publik, dan harus menjelaskan kepada publik tentang hasi sidang-sidang mereka, anggaran yang mereka gunakan serta hasil apa yang didapat untuk kepentingan rakyat.

Kedua, belajar dari parlemen Swedia, saya setuju jika take home pay yang diterima DPR tak lebih dari 3x UMR kita. Tujuannya adalah mempersempit ketimpangan antara rakyat dan wakilnya, sehingga DPR mengerti dan peka terhadap kepentingan rakyat. Jika demikian, maka akan ada sejumlah anggaran yang sangat besar yang bisa dialokasikan untuk program strategis kita dalam menggapai Indonesia emas 2045, yakni pendidikan (Sekolah rakyat) dan kesehatan, termasuk program makan bergizi gratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun