Mohon tunggu...
Wiselovehope
Wiselovehope Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cinta Terakhir Sang Bangsawan (Novel Romansa Thriller Apocalypse Episode 119)

26 Mei 2023   09:34 Diperbarui: 26 Mei 2023   09:40 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Cepat atau lambat beliau dan juga keluarga Russell akan dan harus mengetahui semuanya! Apa gunanya aku menutup-nutupi? Rani menggigit bibir.


"Ada apa? Mengapa Nona kelihatannya begitu ketakutan? Mari duduk di ruang tamu dan minum secangkir teh, lalu Anda bisa menceritakannya kepadaku..." John mempersilakan Rani untuk duduk.


Menutup dan mengunci pintu, lelaki yang memiliki perawakan dan wajah begitu mirip dengan almarhum kakaknya itu menggentarkan hati Rani. Tak lama kemudian John sudah menghidangkan dua cangkir teh di hadapan mereka.


"Maaf, hanya ini sajian yang kami punya, persediaan bahan makanan, minuman dan logistik kami tinggal sedikit. Meskipun bahan makanan di toko-toko yang ditinggalkan pemiliknya di pusat kota masih sangat banyak, tetapi kami harus mengirit amunisi, sehingga hanya bisa sesekali bepergian untuk mengambil, atau lebih tepatnya, menjarah," kisah John singkat sambil menyesap tehnya.


"Oh, tidak apa-apa. Ini sudah lebih dari cukup, thank you very much. Saya turut prihatin, Tuan John." Rani ikut menyesap tehnya yang agak encer namun hangat melegakan.


"Sekarang Nona bisa menceritakan semua yang terjadi setelah Anda dan Tuan Orion meninggalkan tempat ini. Apakah Anda berdua sudah bertemu dengan kakak lelakiku?"


Rani merasa pilu. Cangkir teh dalam genggamannya bergetar. Untuk mengulur waktu, ditanyakannya terlebih dahulu sesuatu yang sedari dulu mengganjal hatinya, "Maaf, Tuan John, apakah Anda mengenal seorang pria dengan panggilan Russell? Berusia kira-kira akhir 30 atau awal 40-an tahun, bertubuh tinggi besar?"


John sejenak terdiam, berusaha mengingat-ingat, "Uh, ya, beberapa hari silam, sebuah keluarga jemaat kami mengabarkan jika kepala keluarga mereka berangkat berburu ke perbukitan. Kira-kira sebelum semua ini terjadi. Lalu beliau belum juga kembali hingga saat ini. Keluarga masih menunggu di rumah, sementara kami tak berdaya untuk melakukan pencarian."


Astaga, itu pasti dia! Rani kehabisan kata-kata. Bagaimana caranya menceritakan fakta-fakta yang ia tahu mengenai Russell? Bagaimana untuk menuturkan segalanya selembut mungkin agar pria setengah baya yang tampak bijaksana namun lelah dan sedih ini tidak bertambah kuyu dan berduka?


"Nona Rani, mungkin Anda sebagai seorang Everasia masih kental terpengaruh budaya segan dan juga enggan secara frontal membicarakannya kepadaku, tetapi kami semua di sini sudah berada pada titik pasrah dan berserah kepada Tuhan semata-mata. Dunia ini telah tua, telah masuk ke akhir zaman. Jadi semua hal, seperti telah dinubuatkan dalam beberapa kitab-kitab suci agama, bisa terjadi kapan saja, tak dapat lagi ditunda maupun dicegah oleh teknologi, oleh negeri manapun, oleh siapapun. Peperangan, mara bahaya, sakit penyakit, bencana alam dan lain sebagainya akan terjadi. Sudah tanda-tanda awal kehancuran yang digariskan oleh Sang Maha Pencipta."


"Tuan John, maafkan aku, tetapi... sesungguhnya Tuan Russell sudah kami temukan, begitu pula Rev. James!" Rani meletakkan cangkir tehnya dan berlutut di hadapan John, "Mereka, mereka..." air mata mulai terbit di pelupuk matanya, segera meluncur di pipi. Ia memegang tangan-tangan John yang masih menggenggam cangkir, seolah berusaha agar pria itu kuat menahan semua yang ia akan ucapkan.


"Aku turut berduka, Tuan John, sesungguhnya, mereka sudah tiada..."


***


Seumur hidupnya, Orion tak pernah merasa begitu gundah. Ia ingin turut mendatangi pemakaman Russell beserta para korban yang dilakukan secepatnya larut malam itu juga di lahan kosong, dipimpin oleh Edward Bennet sendiri dan dilakukan sesuai protokol kesehatan. Akan tetapi ada hal penting lain yang perlu dilakukannya sementara dokter Kenneth belum kembali ke sini.


Jika ia pulang, barangkali ia akan marah besar kepada Rose karena zombie-zombienya telah tiada. Meskipun bukan dibersihkan oleh tangan Rose sendiri, aku yakin dokter itu takkan senang.


Segera menuju Lab Barn seorang diri, pemuda itu masih berpikir tentang Rani. Ia ingin agar Rani segera kembali dengan selamat. Istriku, apakah kau baik-baik saja? Mengapa aku tetiba dihinggapi firasat buruk? Mengapa kau dan Leon belum juga kembali setelah berjam-jam lamanya pergi? Apakah kalian dalam kesulitan? Jika hingga esok rombongan 'go downtown' belum juga kembali, aku akan segera menyusul mereka ke kota, diizinkan atau tidak, apapun yang terjadi!


Lab Barn tampaknya sedang kosong tanpa penjagaan. Semua penjaga dan pegawai sedang menghadiri pemakaman massal. Orion seorang diri menelusuri lorong demi lorong. Meskipun lampu-lampu menyala terang benderang, tetap saja bekas lumbung yang disulap menjadi rumah sakit dadakan itu terkesan dingin, hampa menyeramkan.


Melewati dua kamar isolasi kosong yang pernah ditempatinya dan juga almarhum Russell sebagai tetangga kamar, pemuda itu tak ayal merenung. Betapa singkatnya hidup ini, semua bisa berubah dalam sekejap mata.


"Ah, haus, lapar, sesak..."


Astaga, siapa itu? Di sebelah mana? Apakah masih ada zombie tersisa di tempat ini?

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun