Mohon tunggu...
Wiselovehope
Wiselovehope Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Bapa, Aku Ingin Pulang!", Yuk Belajar Lebih Peka Dengan Curhat Sahabat!

3 Desember 2022   05:46 Diperbarui: 3 Desember 2022   06:13 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via Freepik

Medio 1990-an. Saat masih duduk di bangku kelas dua SMU aku pernah punya dua sahabat bertukar diari. Sebut saja aku, Heni dan Debi. Bertiga, kami masing-masing membeli sebuah buku harian kosong untuk diisi dan ditukarkan secara rotasi.

Setiap hari kami menulis minimal satu halaman untuk kemudian ditukarkan secara berputar; bukuku ke Heni, Heni ke Debi, Debi ke aku. Jadi kami akan memiliki tiga tulisan selang-seling. Kami berjanji tidak akan menunjukkan atau membocorkan kepada siapapun.

Semua berjalan lancar dan seru hingga beberapa hari atau minggu, isi diari bersama kami sungguh lucu dan seru. Jika suka dengan cowok, kami tulis. Sedang sedih, kami tulis. Kami saling bantu dengan solusi satu sama lain jika ada masalah atau pertanyaan kecil.

 Tiba-tiba Debi menulis hal yang mengejutkan. "Bapa, Aku ingin pulang."

Ke mana? - Itu tanyaku dan Heni. Kami heran. Bukankah Debi punya rumah dan orangtua? 

Aku dan Heni jadi khawatir sekali. Debi memang kadang bersikap aneh dan agak pemurung. Ia pernah satu kali tidak naik kelas. Di sekolah kami, dua kali tidak naik kelas berarti harus keluar atau pindah sekolah. Jika Debi tahun itu tidak naik lagi, terpaksa ia harus pindah sekolah.

Kami sempat terpikir jika Debi ingin mengakhiri hidup! 'Ingin pulang' juga bisa berarti bisa saja 'sudah lelah berada di dunia ini'. Seram, bukan? Aku dan Heni sungguh takut!

"Ah, lupakanlah, aku tak apa-apa kok, hanya curahan hati sesaat saja, kok." Debi berusaha kembali riang, membuat kami lebih tenang.

Kami kurang tahu bagaimana nasib Debi kini, karena ternyata ia betul-betul tidak naik kelas. Nilai beberapa pelajaran penting saat itu jika tidak sampai 6, dianggap masih merah, dan siswa tidak bisa melanjutkan ke kelas tiga. Debi mendapat nilai matematika di rapor 5,8, berarti ia harus/terpaksa berpisah denganku dan Heni. Buku-buku diari kami akhirmya tidak akan pernah lanjut hingga penuh. Satu anggota geng kami tidak lagi eksis, jadi aku dan Heni merasa malas, tidak seru lagi jika hanya berdua.Untuk mencari pengganti Debi, tidak mungkin. Sudah terlalu banyak 'rahasia' kecil kami bertiga di ketiga buku itu. Kami lalu menyimpannya saja, walau sekarang berpuluh tahun lewat, sudah entah ke mana semua sarana curhat masa remaja kami itu.

Sayangnya Debi menutup diri jadi kami tak tahu lagi kabar beritanya hingga kini. Rasa sedih dan penyesalan masih ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun