Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Satu Tamparan di Cimarga Seribu Cermin Untuk Kita

14 Oktober 2025   17:34 Diperbarui: 14 Oktober 2025   17:34 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seseorang Membuat Laporan (Sumberhttps://ideogram.ai/g/9f6gQIZrRnGGwZNPwpCOCg/3?

Masalahnya, kita sekarang hidup di zaman yang gemar mencari salah, bukan mencari makna. Zaman di mana satu tindakan salah bisa menghapus seribu niat baik. Zaman di mana emosi manusia diadili oleh algoritma media sosial.

Sekolah hari ini serba salah. Kalau terlalu keras, disebut otoriter. Kalau terlalu lembek, dibilang tidak tegas. Kalau kasih hukuman, dilaporin. Kalau dibiarkan, dibilang tidak mendidik.

Pemerintah bikin jargon "Sekolah Ramah Anak". Bagus. Mulia niatnya. Tapi kadang "ramah" itu disalahartikan jadi "jangan ganggu anak dalam bentuk apa pun". Padahal, dalam pendidikan, gangguan yang benar itu kadang justru perlu, supaya anak sadar. Kayak kopi, Bro. Kalau nggak pahit, ya bukan kopi.

Saya ingat dulu waktu saya SMP. Guru saya, Pak Karni orangnya keras bukan main. Kalau telat apel pagi, kami disuruh lari keliling lapangan sambil nyanyi "Garuda Pancasila". Tapi anehnya, kami tidak pernah benci. Karena kami tahu, dia tidak sedang menghukum kami, dia sedang membentuk kami.

Sekarang saya pikir, mungkin itu juga yang dimaksud Bu Dini ketika menampar anak itu: bukan karena benci, tapi karena sayang yang tak tahu cara mengekspresikan diri selain lewat satu tepukan di pipi.

Tentu, tamparan tetap tidak ideal. Dunia pendidikan harusnya tidak mengandalkan tangan untuk berbicara. Tapi sebelum kita menghakimi, mari jujur dulu: siapa di antara kita yang tidak pernah tersulut emosi ketika yang kita cintai justru melanggar hal yang kita jaga?

Larangan merokok di sekolah itu bukan sekadar aturan kering. Itu pesan moral: bahwa sekolah adalah tempat belajar hidup sehat, bukan sekadar lulus ujian. Tapi di luar pagar sekolah, ada toko yang bebas menjual rokok, ada iklan yang menggoda di jalan, ada orang dewasa yang masih menganggap rokok itu "lambang kejantanan".

Lalu anak SMP atau SMA yang penasaran ikut-ikutan merokok, siapa yang salah? Anak itu? Sekolah? Atau kita semua, yang membiarkan nilai-nilai jadi bahan promosi, bukan teladan?

Hidup memang sering serba salah: bukan karena terlalu banyak tamparan, tapi karena terlalu sedikit pelukan. Kita kehilangan ruang untuk bicara dengan hati. Guru takut pada murid. Murid takut pada aturan. Orang tua takut pada opini publik. Padahal pendidikan adalah percakapan, bukan persidangan.

Kalau setiap masalah di sekolah harus diselesaikan di kantor polisi, maka apa bedanya sekolah dengan ruang sidang? Kalau setiap guru takut menegur karena bisa dilapor, maka siapa yang tersisa untuk membimbing dengan sungguh-sungguh?

Mungkin sudah saatnya kita belajar membedakan antara kekerasan dan ketegasan, antara tamparan karena benci dan tamparan karena cinta. Yang satu menghancurkan, yang satu membangun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun