Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Mengajarkan Ilmu vs Bimbel Yang Mengajarkan Trik

13 Oktober 2025   11:45 Diperbarui: 12 Oktober 2025   13:55 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembelajaran di Sekolah (Sumber: Dokumen Pribadi)

Pagi itu, di sebuah SMP negeri di pinggiran kota, Budi sedang menatap papan tulis seperti menatap nasib bangsa. Di sana tertulis besar-besar:" Ulangan Persiapan Tes Kompetensi Akademik." Bu Guru berdiri di depan kelas, wajahnya campuran antara kesabaran seorang ibu dan ketegasan panitia seleksi surga.


"Anak-anak, ingat ya... cepat dan tepat!" katanya.

Budi mengangguk. Tapi dalam hati kecilnya yang masih polos, ia berbisik, "Bu... kalau cepat tapi belum sempat mikir, itu masih disebut belajar atau sudah latihan jadi robot?"

Sore hari, Budi tak pulang istirahat. Ia berangkat ke bimbel, tempat di mana istilah deep learning berubah makna menjadi deep pressure. Di papan tulis bimbel, rumus-rumus berbaris seperti prajurit. "Latihan seratus soal!" teriak tutor muda yang rambutnya klimis tapi pikirannya seperti mesin fotokopi. Dan aku kadang ingin bertanya: "Wahai anak-anak manusia modern, kalian ini sedang belajar berpikir, atau sedang belajar berpura-pura jadi Google?"

Kata The Guardian, deep learning itu bukan cuma urusan algoritma komputer. Dalam dunia pendidikan, artinya sederhana: paham secara mendalam, bukan hafal setengah mati.
Anak yang belajar mendalam tahu mengapa sesuatu terjadi, bukan cuma bagaimana caranya.

Tapi di negeri kita, yang sering tenggelam dalam banjir bimbel, deep learning perlahan berubah jadi drill learning. Semakin banyak latihan, semakin sedikit perenungan.
Di sekolah, guru bicara tentang Merdeka Belajar. Di bimbel, anak-anak mempraktikkan Merdeka dari Tidur Siang. Dua-duanya tampak sibuk, tapi kita tak yakin, siapa yang sebenarnya sedang belajar, dan siapa yang sekadar berlari.

Aku pernah melihat dua anak: Yang satu bisa menaklukkan 100 soal matematika dalam sejam, tapi gagap menjelaskan kenapa rumus itu bisa jalan. Yang satu lagi cuma bisa 10 soal, tapi ia bisa bercerita tentang logika di baliknya seperti orang sedang membaca puisi cinta.
Dalam sistem pendidikan yang memuja skor, tentu yang pertama dianggap jenius.
Tapi dalam kehidupan yang butuh makna, yang kedua justru lebih manusia.

Dalam dunia drill method, orang bilang: practice makes perfect. Tapi, kata Psychology Today, otak manusia itu bukan alat pengulang, melainkan alat penghubung.
Anak-anak yang hanya diajari mengulang ibarat burung beo yang bisa mengucap "Assalamualaikum" tanpa tahu maknanya. Ironisnya, orang tuanya bangga, "Tuh, pinter kan anak saya?" Padahal yang pintar bukan anaknya, tapi pita suaranya.

Kita hidup di zaman ketika banyak orang jadi "ahli menjawab" tapi jarang yang "ahli memahami".
Deep learning sudah berubah jadi deep surviving, bertahan hidup di hutan belantara tes, modul, dan target nilai.

Pernah suatu kali saya tanya murid: "Kenapa ikut bimbel?"
Dia jawab, polos dan jujur, "Soalnya kalau nggak ikut, takut ketinggalan." Perhatikan: kata pertama yang keluar adalah takut, bukan penasaran. Padahal pendidikan seharusnya melahirkan keberanian berpikir, bukan ketakutan berjamaah setiap kali ada ujian.

Tes Kompetensi Akademik katanya untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi,
tapi kadang justru melahirkan perilaku berpikir tingkat rendah: mencontek, meniru, dan menghafal tanpa paham. Sebuah ironi yang lucu kalau kita baca di berita, tapi pahit kalau kita yang bayar cicilan bimbelnya.

National Geographic pernah bilang, otak manusia paling efektif belajar saat merasa aman, penasaran, dan dihargai. Bukan saat dikejar waktu dan angka.
Jadi deep learning itu sebenarnya bukan soal kurikulum atau modul pintar, tapi suasana batin di ruang kelas.

Guru yang tersenyum, teman yang saling mendukung, tempat yang tidak menghukum kesalahan,
itulah bahan bakar deep learning yang sesungguhnya. Tapi bagaimana mau berpikir dalam, kalau setiap sepuluh menit kita disuruh menebak antara A, B, C, atau D?
Bagaimana mau reflektif, kalau kesalahan dianggap dosa besar yang harus ditebus dengan jam tambahan di bimbel?

Belajar itu, kata orang tua dulu, seperti menggali sumur. Kalau cuma mau cuci muka, gali sedikit saja. Tapi kalau mau minum seumur hidup, ya harus menggali dalam-dalam, sampai ketemu air kehidupan. Dan Bu Guru, yang diam-diam juga paham itu, hanya bisa tersenyum getir di ujung kelas. Ia tahu, yang salah bukan Budi, bukan bimbel, bukan juga dirinya.
Yang salah adalah kita semua, orang-orang dewasa yang lebih sibuk mencetak nilai daripada menumbuhkan nurani.

Kalau nanti Budi lulus Tes Kompetensi Akademik, semoga ia bukan cuma bisa menjawab soal.
Tapi juga bisa menjawab hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun