Tes Kompetensi Akademik katanya untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi,
tapi kadang justru melahirkan perilaku berpikir tingkat rendah: mencontek, meniru, dan menghafal tanpa paham. Sebuah ironi yang lucu kalau kita baca di berita, tapi pahit kalau kita yang bayar cicilan bimbelnya.
National Geographic pernah bilang, otak manusia paling efektif belajar saat merasa aman, penasaran, dan dihargai. Bukan saat dikejar waktu dan angka.
Jadi deep learning itu sebenarnya bukan soal kurikulum atau modul pintar, tapi suasana batin di ruang kelas.
Guru yang tersenyum, teman yang saling mendukung, tempat yang tidak menghukum kesalahan,
itulah bahan bakar deep learning yang sesungguhnya. Tapi bagaimana mau berpikir dalam, kalau setiap sepuluh menit kita disuruh menebak antara A, B, C, atau D?
Bagaimana mau reflektif, kalau kesalahan dianggap dosa besar yang harus ditebus dengan jam tambahan di bimbel?
Belajar itu, kata orang tua dulu, seperti menggali sumur. Kalau cuma mau cuci muka, gali sedikit saja. Tapi kalau mau minum seumur hidup, ya harus menggali dalam-dalam, sampai ketemu air kehidupan. Dan Bu Guru, yang diam-diam juga paham itu, hanya bisa tersenyum getir di ujung kelas. Ia tahu, yang salah bukan Budi, bukan bimbel, bukan juga dirinya.
Yang salah adalah kita semua, orang-orang dewasa yang lebih sibuk mencetak nilai daripada menumbuhkan nurani.
Kalau nanti Budi lulus Tes Kompetensi Akademik, semoga ia bukan cuma bisa menjawab soal.
Tapi juga bisa menjawab hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI