Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kita Kalah, Kecewa, Tapi Jangan Nggak Belajar

12 Oktober 2025   06:32 Diperbarui: 12 Oktober 2025   17:50 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu harapan terakhir. Indonesia versus Irak. Ada bapak-bapak menatap televisi, siaran langsung  Indonesia versus Irak. Ada yang dari tadi teriak "Ayo, Garuda!" Kini ia cuma bisa menatap kosong ke tv, seolah berharap wasit mau mengulang pertandingan kalau kita semua menatap cukup lama. Di pojok rumah, seorang ibu yang menepuk bahu anaknya dan berbisik, "paling nggak kita udah punya kenangan." Sementara di dunia maya, perang sudah pecah, antara yang menyalahkan pelatih, pemain naturalisasi, sampai yang menyalahkan AFC yang memilih Arab  Saudi sebagai tempat perhelatan.

Lucunya, kekalahan Indonesia dari Irak itu tidak hanya soal skor. Ia seperti cermin besar yang dipasang di depan bangsa ini: "Lihat, kamu sebenarnya sedang belajar, bukan sekadar bertanding." Tapi siapa yang mau mengaku sedang belajar kalau sudah terlanjur merasa piala dunia sudah sangat dekat? Kita terlalu sering mabuk oleh kemenangan sebelum keringat menetes. Maka ketika kekalahan datang, kita kaget seperti murid yang baru sadar ujian hari ini padahal semalam begadang nonton live streaming motivator.

Saya membayangkan ada di langit. "Kalian maunya menang terus, tapi lupa bahwa yang membesarkan jiwa itu bukan piala, melainkan proses." Indonesia gagal ke Piala Dunia, tapi berhasil naik satu tingkat dalam pelajaran kerendahan hati.

Kekalahan adalah cermin yang jujur, sementara kemenangan sering menipu. Saat menang, kita sibuk berteriak. Saat kalah, kita baru sempat berpikir. Dan mungkin, ini saat yang tepat untuk berpikir: apakah selama ini kita benar-benar membangun sepak bola, atau hanya membangun harapan musiman?

Program naturalisasi, misalnya. Saya tidak menentang, karena siapa pun yang mau membela merah putih layak dihormati. Tapi mari jujur: naturalisasi seolah menjadi jalan pintas menuju mimpi besar. Kita tergoda dengan ide "meminjam kekuatan orang lain" alih-alih menumbuhkan kekuatan sendiri. Seperti murid yang tiap ujian selalu mencontek teman sebelah, nilai tinggi, tapi tidak pernah paham soal. Padahal sepak bola, seperti kehidupan, tidak bisa dimenangkan dengan shortcut. Harus ada pembinaan, kesabaran, dan ketulusan.

Kita bangga dengan pemain yang lahir di luar negeri, tapi lupa mengurus anak-anak yang menendang bola plastik di gang sempit setiap sore. Kita berdebat tentang strategi formasi, tapi jarang bicara soal lapangan kampung yang sudah jadi parkiran.

Kita kagum pada pelatih asing, tapi lupa membina guru olahraga di sekolah dasar. Lalu, ketika kalah, kita kaget, padahal sistemnya yang sakit, bukan hanya skor di papan.

Menerima kekalahan bukan berarti pasrah. Lapang dada bukan tanda lemah, tapi tanda bahwa kita punya dada yang cukup luas untuk menampung kenyataan. Dalam sepak bola, seperti dalam hidup, tidak semua perjuangan berakhir dengan tepuk tangan. Ada perjuangan yang hanya berakhir dengan pelukan, tangis, dan ucapan lirih, "Tidak apa-apa, yang penting kamu sudah berjuang." Dan itu pun sudah kemenangan, meski tanpa trofi.

Bangsa ini perlu belajar bahwa kekalahan bukan aib, tapi guru yang keras kepala. Ia datang untuk menegur, mengingatkan, dan mengajarkan arti sabar. Dari dua kekalahan di kualifikasi, semoga kita belajar bukan hanya memperbaiki strategi, tapi juga memperbaiki hati. Sebab kadang, hati bangsa ini lebih sering butuh terapi daripada pelatihan.

Saya teringat kata seorang teman: "Bangsa yang dewasa bukan yang selalu menang, tapi yang tahu bagaimana bersyukur saat kalah." Dan saya kira itu benar. Kalau setiap kekalahan membuat kita marah, berarti kita belum siap jadi pemenang. Tapi kalau kekalahan membuat kita berpikir, tersenyum, lalu bangkit, maka kita sudah setengah jalan menuju kemenangan sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun