Di warung kopi dekat sekolah, empat orang bapak duduk melingkar. Di atas meja, ada gelas kopi setengah dingin, gorengan setengah habis, dan percakapan yang setengah jalan. "Kemarin anakku juara kelas loh," kata yang pertama. Yang lain hampir menanggapi, tapi jempolnya lebih cepat dari mulutnya, sedang membalas pesan grup "Wali Murid Hebat". Yang ketiga tertawa kecil, tapi bukan karena cerita temannya, karena video kucing di TikTok. Yang keempat, paling tenang, menatap mereka satu per satu lalu berkata, "Aku rasa, sebentar lagi kita bisa ngopi bareng tapi via Zoom aja, hemat bensin." Semua tertawa, tapi entah kenapa tawa itu terdengar seperti notifikasi: ha-ha-ha... cling!
Â
Bayangkan sekelompok teman, atau mungkin kolega di kantin sekolah atau guru-guru di ruang guru, kantor, (eh, ini cocok banget buat Anda), duduk bersama. Tawa ringan, kopi diseruput, cerita mengalir. Tapi di sela-sela obrolan---tiba-tiba satu dua orang mengangkat ponsel, jari geser-geser, berkata "entar ya", "sekejap", dan melihat layar. Obrolan berhenti, pandangan bergeser ke ponsel, senyum tertahan. Lalu kembali ke obrolan, tetapi... ada yang hilang. Apa yang terjadi di ruang sosial kecil ini?
Ini bukan sekadar "orangnya kurang sopan", bukan juga "tidak tahu etika". Ini adalah gejala sosial yang malahan lebih dalam: "phubbing", pengabaian orang di depan kita karena ponsel di tangan kita. Kata yang sudah diserap ke dalam bahasa sosial: phone + snubbing
Â
Bayangkan kita duduk berdampingan, tetapi satu-dua orang lebih sibuk mengecek ponsel daripada menatap kita. Tiba-tiba kamu merasa sebagai "pemain pembantu" di obrolan yang menjadi sandaran sementara bagi ponsel. Menurut penelitian, phubbing mengganggu proses kognitif, mengurangi kualitas hubungan sosial, dan menciptakan rasa kesepian padahal kita "bersama".
Dalam konstelasi masyarakat Indonesia, di mana makan bersama, kopi sore, ruang keluarga punya nilai ritual, kejadian seperti ini terasa ironis: kita hadir secara fisik, tapi pikiran sudah "melayang" ke dunia digital tanpa undangan. Kita bersua, tapi tidak sungguh-sungguh bertemu.
Pertama-tama, mari kita akui dengan jujur: notifikasi sekarang kedudukannya hampir setara dengan panggilan Bos Besar. Begitu bunyi ting! langsung refleks tangan bergerak lebih cepat dari akal sehat. Takut ketinggalan kabar, padahal kabarnya cuma "Oke" atau "Siap, Pak." Kita ini bukan lagi manusia sosial, tapi manusia sinyal, hidupnya tergantung kekuatan jaringan.
Kalau obrolan mulai agak berat, misal ngomong soal hidup, nilai, atau masa depan anak, langsung ada yang pura-pura penting, buka HP, pura-pura sibuk baca berita. Padahal cuma baca caption lucu dari akun receh. Ponsel jadi pelarian paling sahih: begitu realitas terasa serius, kita kabur ke layar, kayak murid ngumpet di balik meja pas disuruh maju.
Dan lucunya lagi, banyak orang sekarang menggenggam ponsel di mana pun, bahkan waktu nggak dipakai, kayak bawa jimat penolak kesepian. Dalam penelitian barat disebut phone walkers, tapi di sini cocoknya disebut jimat digital, nggak bisa jauh dari jimat itu. Dompet boleh ketinggalan, kalau HP jangan.
Profesor Kostadin Kushlev bilang, ponsel menggeser tidur, olahraga, bahkan percakapan langsung. Tapi kalau kata saya, ponsel itu sudah jadi kompas kecil di saku kita: diikutin, ditaati, dan disembah diam-diam. Bedanya, kalau kompas beneran ngajak kita ke arah yang tepat, ponsel ini malah sering menuntun ke jalan buntu, tempat kita sibuk mengetik padahal hati kita sedang sepi sekali.
Manusia diciptakan untuk berhadapan, bukan hanya bersisian dengan ponsel. Bila kita duduk bersama tapi pikiran kita terpecah, maka kita melewatkan "kehadiran". Dan kehadiran mata bertemu mata, tawa asli, jeda nyaman sebelum berbicara, itulah yang menjaga kehangatan sosial, yang kitab filsuf Barat dan Timur sebut sebagai communal being.
Penelitian meta-analisis menemukan bahwa konstruksi sosial yang kuat dan kepercayaan antar-manusia berhubungan dengan kesehatan mental dan panjang hidup. Dalam konteks Indonesia, saat kita berkumpul di ruang guru, warung kopi, atau ruang keluarga, jika ponsel mengambil alih, maka kita melewatkan kesempatan memperkuat ikatan, bukan hanya ngobrol "ringan".
Bayangkan: kita datang ke warung kopi, ngobrol meriah, lalu tiba-tiba salah satu teman bilang: "Tunggu ya, ada WA dari bos." Lalu ia menunduk. Obrolan lama menunggu, gelas kopi dingin, senyum memudar. Saya tertawa (dalam hati): "Wow, ternyata rapat di grup WA lebih penting daripada tawa teman di depan."
Ada orang berkumpul, membagi cerita, tetapi matanya tertawan kotak kecil. Obrolan jadi stasiun sementara, bukan pelabuhan." Ponsel bukan musuh, tentu, tapi ketika ia menjadi tamu tanpa undangan, atau bahkan pemimpin rapat, maka kita yang dirugikan.
Beberapa langkah sederhana, agar obrolan kita bukan hanya "bersama namun sendiri":
Coba kita bikin aturan ngumpul yang agak waras tapi tetap lucu: sebelum mulai ngobrol, semua ponsel dibalik di meja, biar kayak sedang bertobat berjamaah dari dosa notifikasi. Selama 30 menit pertama, kita latihan jadi manusia pra-Google --- ngobrol tanpa bantuan mesin pencari.
Dan coba renungkan: setiap kali kita buka ponsel di tengah obrolan, yang kita lihat bukan cuma layar, tapi juga peluang yang hilang, senyum teman, gosip yang hampir jadi, tawa yang batal meledak. Maka marilah kita wujudkan ruang "bebas ponsel" bukan sebagai larangan, tapi sebagai bentuk penghormatan. Karena di situ kita sedang bilang pelan-pelan: "Tenang, bro. Hari ini aku hadir buat kamu, bukan buat notifikasi."
Jadi, ketika Anda duduk bersama tim guru, teman lama, atau keluarga, dan tiba-tiba seseorang angkat ponsel di tengah tawa, jangan buru-buru mencap "kurang menghargai". Bisa jadi dia terjebak dalam algoritma budaya ponsel, dalam rasa takut ketinggalan, dalam rutinitas yang tak terasa. Tapi mari kita sebagai pengguna sadar: bahwa sesungguhnya kehadiran, bukan hanya secara fisik, namun batin, adalah kemewahan di era di mana "terhubung" seringkali berarti "terpisah".
Mari kita jadikan kumpul-kumpul bukan sekadar acara "dua orang + ponsel" tapi "dua hati bertatap, suara yang terekam dalam ingatan, bukan hanya dalam feed". Karena di situlah, manusia menemukan rumahnya: bukan di layar kaca ponsel, tapi di hadapan sesama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI