Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia dan Jimat Digital

11 Oktober 2025   11:31 Diperbarui: 11 Oktober 2025   12:46 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia diciptakan untuk berhadapan, bukan hanya bersisian dengan ponsel. Bila kita duduk bersama tapi pikiran kita terpecah, maka kita melewatkan "kehadiran". Dan kehadiran mata bertemu mata, tawa asli, jeda nyaman sebelum berbicara, itulah yang menjaga kehangatan sosial, yang kitab filsuf Barat dan Timur sebut sebagai communal being.

Penelitian meta-analisis menemukan bahwa konstruksi sosial yang kuat dan kepercayaan antar-manusia berhubungan dengan kesehatan mental dan panjang hidup. Dalam konteks Indonesia, saat kita berkumpul di ruang guru, warung kopi, atau ruang keluarga, jika ponsel mengambil alih, maka kita melewatkan kesempatan memperkuat ikatan, bukan hanya ngobrol "ringan".

Bayangkan: kita datang ke warung kopi, ngobrol meriah, lalu tiba-tiba salah satu teman bilang: "Tunggu ya, ada WA dari bos." Lalu ia menunduk. Obrolan lama menunggu, gelas kopi dingin, senyum memudar. Saya tertawa (dalam hati): "Wow, ternyata rapat di grup WA lebih penting daripada tawa teman di depan."

Ada orang berkumpul, membagi cerita, tetapi matanya tertawan kotak kecil. Obrolan jadi stasiun sementara, bukan pelabuhan." Ponsel bukan musuh, tentu, tapi ketika ia menjadi tamu tanpa undangan, atau bahkan pemimpin rapat, maka kita yang dirugikan.

Beberapa langkah sederhana, agar obrolan kita bukan hanya "bersama namun sendiri":

Coba kita bikin aturan ngumpul yang agak waras tapi tetap lucu: sebelum mulai ngobrol, semua ponsel dibalik di meja, biar kayak sedang bertobat berjamaah dari dosa notifikasi. Selama 30 menit pertama, kita latihan jadi manusia pra-Google --- ngobrol tanpa bantuan mesin pencari.

Dan coba renungkan: setiap kali kita buka ponsel di tengah obrolan, yang kita lihat bukan cuma layar, tapi juga peluang yang hilang, senyum teman, gosip yang hampir jadi, tawa yang batal meledak. Maka marilah kita wujudkan ruang "bebas ponsel" bukan sebagai larangan, tapi sebagai bentuk penghormatan. Karena di situ kita sedang bilang pelan-pelan: "Tenang, bro. Hari ini aku hadir buat kamu, bukan buat notifikasi."

Jadi, ketika Anda duduk bersama tim guru, teman lama, atau keluarga, dan tiba-tiba seseorang angkat ponsel di tengah tawa, jangan buru-buru mencap "kurang menghargai". Bisa jadi dia terjebak dalam algoritma budaya ponsel, dalam rasa takut ketinggalan, dalam rutinitas yang tak terasa. Tapi mari kita sebagai pengguna sadar: bahwa sesungguhnya kehadiran, bukan hanya secara fisik, namun batin, adalah kemewahan di era di mana "terhubung" seringkali berarti "terpisah".

Mari kita jadikan kumpul-kumpul bukan sekadar acara "dua orang + ponsel" tapi "dua hati bertatap, suara yang terekam dalam ingatan, bukan hanya dalam feed". Karena di situlah, manusia menemukan rumahnya: bukan di layar kaca ponsel, tapi di hadapan sesama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun