Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia dan Jimat Digital

11 Oktober 2025   11:31 Diperbarui: 11 Oktober 2025   12:46 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di warung kopi dekat sekolah, empat orang bapak duduk melingkar. Di atas meja, ada gelas kopi setengah dingin, gorengan setengah habis, dan percakapan yang setengah jalan. "Kemarin anakku juara kelas loh," kata yang pertama. Yang lain hampir menanggapi, tapi jempolnya lebih cepat dari mulutnya, sedang membalas pesan grup "Wali Murid Hebat". Yang ketiga tertawa kecil, tapi bukan karena cerita temannya, karena video kucing di TikTok. Yang keempat, paling tenang, menatap mereka satu per satu lalu berkata, "Aku rasa, sebentar lagi kita bisa ngopi bareng tapi via Zoom aja, hemat bensin." Semua tertawa, tapi entah kenapa tawa itu terdengar seperti notifikasi: ha-ha-ha... cling!

 

Bayangkan sekelompok teman, atau mungkin kolega di kantin sekolah atau guru-guru di ruang guru, kantor, (eh, ini cocok banget buat Anda), duduk bersama. Tawa ringan, kopi diseruput, cerita mengalir. Tapi di sela-sela obrolan---tiba-tiba satu dua orang mengangkat ponsel, jari geser-geser, berkata "entar ya", "sekejap", dan melihat layar. Obrolan berhenti, pandangan bergeser ke ponsel, senyum tertahan. Lalu kembali ke obrolan, tetapi... ada yang hilang. Apa yang terjadi di ruang sosial kecil ini?

Ini bukan sekadar "orangnya kurang sopan", bukan juga "tidak tahu etika". Ini adalah gejala sosial yang malahan lebih dalam: "phubbing", pengabaian orang di depan kita karena ponsel di tangan kita. Kata yang sudah diserap ke dalam bahasa sosial: phone + snubbing

 

Bayangkan kita duduk berdampingan, tetapi satu-dua orang lebih sibuk mengecek ponsel daripada menatap kita. Tiba-tiba kamu merasa sebagai "pemain pembantu" di obrolan yang menjadi sandaran sementara bagi ponsel. Menurut penelitian, phubbing mengganggu proses kognitif, mengurangi kualitas hubungan sosial, dan menciptakan rasa kesepian padahal kita "bersama".

Dalam konstelasi masyarakat Indonesia, di mana makan bersama, kopi sore, ruang keluarga punya nilai ritual, kejadian seperti ini terasa ironis: kita hadir secara fisik, tapi pikiran sudah "melayang" ke dunia digital tanpa undangan. Kita bersua, tapi tidak sungguh-sungguh bertemu.

Pertama-tama, mari kita akui dengan jujur: notifikasi sekarang kedudukannya hampir setara dengan panggilan Bos Besar. Begitu bunyi ting! langsung refleks tangan bergerak lebih cepat dari akal sehat. Takut ketinggalan kabar, padahal kabarnya cuma "Oke" atau "Siap, Pak." Kita ini bukan lagi manusia sosial, tapi manusia sinyal, hidupnya tergantung kekuatan jaringan.

Kalau obrolan mulai agak berat, misal ngomong soal hidup, nilai, atau masa depan anak, langsung ada yang pura-pura penting, buka HP, pura-pura sibuk baca berita. Padahal cuma baca caption lucu dari akun receh. Ponsel jadi pelarian paling sahih: begitu realitas terasa serius, kita kabur ke layar, kayak murid ngumpet di balik meja pas disuruh maju.

Dan lucunya lagi, banyak orang sekarang menggenggam ponsel di mana pun, bahkan waktu nggak dipakai, kayak bawa jimat penolak kesepian. Dalam penelitian barat disebut phone walkers, tapi di sini cocoknya disebut jimat digital, nggak bisa jauh dari jimat itu. Dompet boleh ketinggalan, kalau HP jangan.

Profesor Kostadin Kushlev bilang, ponsel menggeser tidur, olahraga, bahkan percakapan langsung. Tapi kalau kata saya, ponsel itu sudah jadi kompas kecil di saku kita: diikutin, ditaati, dan disembah diam-diam. Bedanya, kalau kompas beneran ngajak kita ke arah yang tepat, ponsel ini malah sering menuntun ke jalan buntu, tempat kita sibuk mengetik padahal hati kita sedang sepi sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun