Dulu, kapur yang menempel di jari guru adalah saksi cinta sederhana itu.
 Sekarang, jari yang sama menekan tombol "Share Screen" dengan semangat yang sama , hanya saja, sering tidak ada waktu lagi untuk berbicara dari hati.
Kita tidak sedang kekurangan guru hebat, kita hanya sedang kehilangan ruang untuk menjadi manusia di tengah rumitnya mekanisme. Mungkin sudah saatnya kita berhenti membedakan guru berdasarkan linearitas ijazah, dan mulai menilai dari linearitas niat dan kasihnya.
Sebab pendidikan sejati bukan urusan administrasi, tapi perjalanan hati.
 Dan mungkin, ketika teori sudah lelah dan media ajar sudah usang, yang tersisa hanyalah satu hal:
 senyum seorang guru yang tetap datang setiap pagi, mengajar dengan cinta, meski tak tahu apakah sistem masih menganggapnya layak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI