Suatu pagi di sebuah sekolah pinggiran kota, seorang guru membuka laptop dengan hati-hati.
 Ia menyiapkan presentasi, menyalakan proyektor, memastikan internet menyala, dan mencoba senyum di depan dua puluh pasang mata yang setengah mengantuk.
"Baik, anak-anak, hari ini kita belajar dengan metode mind mapping dan permainan kata!" katanya penuh semangat.
Beberapa murid tersenyum sopan. Dua di antaranya sibuk menggambar di buku, satu lagi menatap layar ponsel di bawah meja. Guru itu tetap melanjutkan , ada ice breaking, ada kuis digital, ada tawa yang dipaksakan. Namun di dalam dirinya, sebuah suara kecil berbisik,
 "Dulu, waktu aku diajar dengan papan tulis dan sepotong kapur, kenapa rasanya justru lebih mudah dimengerti ya?"
Dulu, guru hanya berdiri di depan kelas, bercerita dengan suara tenang dan penuh wibawa , tanpa alat bantu, tanpa teori yang rumit. Entah bagaimana, murid-muridnya cepat sekali memahami pelajaran. Sekarang, guru sudah berbekal berbagai teori pendidikan, media ajar digital, strategi pembelajaran aktif, sampai latihan ice breaking agar kelas tak membosankan.
 Ada yang sampai jungkir balik di depan murid, tapi anehnya , justru makin banyak yang tidak mengerti apa yang sedang diajarkan.
Apakah murid sekarang lebih bodoh? Tidak. Apakah guru sekarang kurang kompeten? Juga tidak.
 Mungkin yang berubah bukan kualitasnya, tapi atmosfernya. Guru dulu mengajar dari hati, bukan dari RPP. Murid belajar dengan rasa takut yang penuh hormat, bukan dengan learning motivation poster di dinding kelas. Keduanya hidup dalam suasana sederhana tapi jujur , dan kejujuran itu yang kini makin langka di dunia pendidikan modern.
Kini, segala hal sudah terukur dan tersertifikasi. Guru harus punya portofolio, akun SIMPKB, sertifikat pelatihan, dan tentu saja ijazah yang linier. Ah, linearitas , kata yang terdengar ilmiah tapi kadang lebih mirip pagar besi. Banyak guru yang sudah bertahun-tahun mengabdi, mendidik anak-anak dengan kasih sayang dan kreativitas, tiba-tiba terhenti langkahnya hanya karena jurusan kuliahnya tidak cocok dengan mapel yang diajarkan.
Ada guru matematika yang dulunya lulusan teknik, tapi sukses membuat anak-anak mencintai angka. Ada guru bahasa yang dulunya sarjana ekonomi, tapi mengajarkan logika dan empati lewat puisi. Namun sistem berkata, "Maaf, Anda tidak linier." Seakan-akan cinta mengajar harus punya ijazah yang seragam.
Lalu datanglah zaman PPPK , di mana nasib guru dipertaruhkan lewat serangkaian tes dan seleksi.
 Bukan sedikit yang merasa "dipaksa" menyesuaikan jurusan agar bisa ikut ujian.
 Yang dulu mengajar dengan hati, kini belajar dengan cemas.
 Yang dulu sibuk menyiapkan bahan ajar, kini sibuk menyiapkan berkas.
 Guru akhirnya tidak hanya mengajar murid, tapi juga mengajar dirinya sendiri: bagaimana bertahan di tengah sistem yang semakin rumit.
Saya sering berpikir, kalau Ki Hajar Dewantara hidup di zaman ini, mungkin beliau akan tersingkir di tahap administrasi. Ijazahnya mungkin tidak linier, sertifikatnya tidak lengkap, dan pelatihannya tidak tersertifikasi. Tapi beliau punya hal yang tidak dimiliki siapa pun , kemampuan menyentuh hati anak-anak tanpa perlu teori.
Zaman sekarang memang penuh kecanggihan. Ada smartboard, quizizz, Kahoot, dan learning apps yang katanya memudahkan belajar. Namun murid-murid seringkali justru sibuk dengan gadget-nya, bukan pelajarannya. Guru harus berjuang antara menjadi pendidik dan menjadi penghibur.
 Mengajar sekarang bukan cuma soal menyampaikan ilmu, tapi juga menjaga perhatian agar tidak kalah dari notifikasi TikTok. Padahal inti pendidikan itu tetap sama: pertemuan antara hati yang ingin memberi dan hati yang ingin belajar.