Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang suka menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tantangan Abad 21, Bukan Sekadar Agar Murid Lulus Ujian

25 September 2025   20:05 Diperbarui: 25 September 2025   20:05 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah

Dua puluh tahun lebih Say ajadi guru, kalau mau jujur, saya sudah menyaksikan berbagai model kurikulum datang dan pergi seperti iklan mie instan di televisi. Dari Kurikulum 1994, KBK, KTSP, sampai Kurikulum Merdeka. Semuanya katanya untuk menyiapkan anak didik menghadapi tantangan zaman. Tapi kenyataannya, masih ada murid yang panik setengah mati cuma gara-gara harus presentasi lima menit di depan kelas, padahal sehari-hari dia bisa ngobrol di kantin sampai setengah jam tanpa berhenti

Nah, di sinilah PR terbesar pendidikan. Kita sibuk berbicara tentang critical thinking, collaboration, creativity, dan communication---empat kata keramat abad 21 yang kalau diucapkan di seminar bisa bikin pembicara terlihat sepintar Rocky Gerung---padahal di kelas sehari-hari, murid masih suka tanya: "Pak, pena saya hilang. boleh nggak pinjam pena si Budi?" Nah, 4C yang katanya senjata abad 21 mendadak kalah sama C paling klasik: cari pinjaman.

Jarak antara Teori dan kenyataan

Saya punya murid jago sekali menghafal rumus. Tapi giliran diminta kerja kelompok, mulutnya terkunci. Ada juga yang lancar bicara di depan kelas, tapi laporan yang ditulis cuma tiga kalimat singkat.

Lebih repot lagi, anak-anak sekarang hidup di dunia digital yang membuat mereka multitasking luar biasa. Bayangkan, saya pernah memergoki murid mengerjakan soal matematika sambil mendengarkan musik, sambil chatting, sambil sesekali intip TikTok. Kalau dilarang? Mereka protes: "Pak, ini kan era digital, multitasking itu keterampilan abad 21." Padahal yang multitasking sebenarnya bukan otak mereka, tapi jempolnya saja.

Nah, kalau kita tidak hati-hati, sekolah hanya akan jadi museum kurikulum. Kita pamerkan teori modern, tapi yang dipraktikkan tetap cara lama: anak duduk, dengar, catat, dan ujian. Murid hanya jadi penghafal, bukan pemecah masalah. Ada papan nama keren, ada jargon modern, tapi isinya tetap sama: anak disuruh hafal. Padahal dunia nyata lebih sering minta solusi daripada hafalan.

Humor Pahit: Murid yang "Siap UN tapi Tidak Siap Hidup"

Beberapa tahun lalu, setelah ujian nasional usai, saya sempat iseng bertanya kepada murid-murid kelas IX tentang rencana mereka setelah lulus. Ada yang menjawab mantap ingin melanjutkan sekolah, ada juga yang berkata ingin membantu orang tua. Anak-anak kita ternyata lebih siap menghadapi ujian nasional daripada ujian kehidupan. Mereka terlatih memilih jawaban A, B, C, atau D, namun sering kebingungan ketika dihadapkan pada persoalan nyata yang jawabannya tidak bisa dicetak tebal di kertas soal.

Solusi: Membumikan Keterampilan Abad 21 di Kelas

Lalu apa solusinya? Menurut pengalaman saya, ada beberapa langkah sederhana tapi nyata:

  1. Ubah Hafalan ke Aksi Nyata

Kalau anak hanya diminta menghafal, mereka akan pandai menyalin dari Google. Tapi kalau diminta memecahkan masalah nyata, mereka akan belajar berpikir. Contoh: alih-alih memberi PR "tulis 10 manfaat kebersihan", lebih baik beri tugas "buat kampanye kecil tentang kebersihan kelasmu". Anak jadi belajar komunikasi, kerjasama, sekaligus kreativitas.

  1. Latih Kolaborasi Lewat Proyek
    Suswa Berkolaborasi dalam Kegiatan Seni
    Suswa Berkolaborasi dalam Kegiatan Seni

Saya pernah meminta murid membuat pameran kecil tentang budaya daerah. Hasilnya? Ribut luar biasa. Ada yang kerja, ada yang cuma numpang nama, ada yang sibuk main HP. Tapi dari situ mereka belajar: kolaborasi itu tidak selalu mulus, tapi harus tetap dicoba. Justru di situlah sekolah melatih anak menghadapi dunia kerja yang penuh konflik kecil.

  1. Ajari Literasi Digital dengan Cerdas

Anak-anak kita sudah pintar pegang gadget, tapi belum tentu pintar menggunakan gadget untuk belajar. Maka, saya mulai dengan hal kecil: setiap kali ada topik baru, saya minta mereka cari referensi dari internet lalu presentasikan. Tentu saya tekankan soal sumber yang valid. Awalnya mereka bingung, "Pak, apa bedanya blog dan jurnal ilmiah?" Nah, di situlah letak pembelajaran.

  1. Berikan Ruang untuk Gagal

Di sekolah kita, gagal masih dianggap aib. Padahal dalam hidup, kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Saya pernah membiarkan murid gagal total dalam presentasi, lalu minggu berikutnya saya beri kesempatan kedua. Hasilnya jauh lebih baik. Anak-anak perlu belajar bahwa gagal itu bukan tamat, tapi tiket masuk ke tahap berikutnya.

Menjadi Guru Abad 21 Juga Butuh Adaptasi

Mari kita jujur, bukan hanya murid yang harus siap hadapi tantangan abad 21. Gurunya juga! guru harus menyelenggarakan pendidikan bermutu. Ada guru yang masih alergi teknologi. Ketika saya bilang, "Ayo kita coba Google Classroom," jawabannya: "Aduh Pak, saya lebih cocok pakai papan tulis kapur, rasanya lebih artistik." Padahal bukan soal gaya, tapi bagaimana menyesuaikan diri dengan kebutuhan murid.

Saya sendiri pun awalnya canggung. Dulu, waktu pertama kali diminta pakai Zoom, saya malah masuk ruang zoom yang kosong. Tapi ya itu tadi, guru juga harus berani belajar. Kalau tidak, kita akan tertinggal, sementara murid jalan lebih cepat.

Pada akhirnya, mempersiapkan murid untuk tantangan abad 21 bukan soal kurikulum yang canggih, bukan juga soal seberapa modern teknologi di sekolah. Intinya ada pada pengalaman belajar yang nyata, relevan, dan menyentuh hidup anak-anak.

Murid harus belajar bukan hanya untuk ujian, tapi untuk hidup. Belajar bukan hanya untuk mendapat nilai, tapi untuk menghadapi kenyataan. Dan tugas kita, para guru, adalah membuka jalan itu---meskipun jalannya berliku, penuh batu, bahkan kadang harus disapu dulu sebelum anak-anak bisa melangkah.

Kalau ada yang menanyakan, apa resepnya agar murid siap menghadapi abad 21?, saya akan menjawab dengan sederhana. Jangan hanya mengajarkan mereka cara mencari jawaban, tetapi ajarkan juga bagaimana cara bertanya. Jangan hanya menuntut mereka lulus ujian, tetapi latih juga agar mereka mampu menghadapi dan lulus dari persoalan hidup yang nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun