Kalau anak hanya diminta menghafal, mereka akan pandai menyalin dari Google. Tapi kalau diminta memecahkan masalah nyata, mereka akan belajar berpikir. Contoh: alih-alih memberi PR "tulis 10 manfaat kebersihan", lebih baik beri tugas "buat kampanye kecil tentang kebersihan kelasmu". Anak jadi belajar komunikasi, kerjasama, sekaligus kreativitas.
- Latih Kolaborasi Lewat ProyekSuswa Berkolaborasi dalam Kegiatan Seni
Saya pernah meminta murid membuat pameran kecil tentang budaya daerah. Hasilnya? Ribut luar biasa. Ada yang kerja, ada yang cuma numpang nama, ada yang sibuk main HP. Tapi dari situ mereka belajar: kolaborasi itu tidak selalu mulus, tapi harus tetap dicoba. Justru di situlah sekolah melatih anak menghadapi dunia kerja yang penuh konflik kecil.
- Ajari Literasi Digital dengan Cerdas
Anak-anak kita sudah pintar pegang gadget, tapi belum tentu pintar menggunakan gadget untuk belajar. Maka, saya mulai dengan hal kecil: setiap kali ada topik baru, saya minta mereka cari referensi dari internet lalu presentasikan. Tentu saya tekankan soal sumber yang valid. Awalnya mereka bingung, "Pak, apa bedanya blog dan jurnal ilmiah?" Nah, di situlah letak pembelajaran.
- Berikan Ruang untuk Gagal
Di sekolah kita, gagal masih dianggap aib. Padahal dalam hidup, kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Saya pernah membiarkan murid gagal total dalam presentasi, lalu minggu berikutnya saya beri kesempatan kedua. Hasilnya jauh lebih baik. Anak-anak perlu belajar bahwa gagal itu bukan tamat, tapi tiket masuk ke tahap berikutnya.
Menjadi Guru Abad 21 Juga Butuh Adaptasi
Mari kita jujur, bukan hanya murid yang harus siap hadapi tantangan abad 21. Gurunya juga! guru harus menyelenggarakan pendidikan bermutu. Ada guru yang masih alergi teknologi. Ketika saya bilang, "Ayo kita coba Google Classroom," jawabannya: "Aduh Pak, saya lebih cocok pakai papan tulis kapur, rasanya lebih artistik." Padahal bukan soal gaya, tapi bagaimana menyesuaikan diri dengan kebutuhan murid.
Saya sendiri pun awalnya canggung. Dulu, waktu pertama kali diminta pakai Zoom, saya malah masuk ruang zoom yang kosong. Tapi ya itu tadi, guru juga harus berani belajar. Kalau tidak, kita akan tertinggal, sementara murid jalan lebih cepat.
Pada akhirnya, mempersiapkan murid untuk tantangan abad 21 bukan soal kurikulum yang canggih, bukan juga soal seberapa modern teknologi di sekolah. Intinya ada pada pengalaman belajar yang nyata, relevan, dan menyentuh hidup anak-anak.
Murid harus belajar bukan hanya untuk ujian, tapi untuk hidup. Belajar bukan hanya untuk mendapat nilai, tapi untuk menghadapi kenyataan. Dan tugas kita, para guru, adalah membuka jalan itu---meskipun jalannya berliku, penuh batu, bahkan kadang harus disapu dulu sebelum anak-anak bisa melangkah.
Kalau ada yang menanyakan, apa resepnya agar murid siap menghadapi abad 21?, saya akan menjawab dengan sederhana. Jangan hanya mengajarkan mereka cara mencari jawaban, tetapi ajarkan juga bagaimana cara bertanya. Jangan hanya menuntut mereka lulus ujian, tetapi latih juga agar mereka mampu menghadapi dan lulus dari persoalan hidup yang nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI