Dua puluh tahun lebih Say ajadi guru, kalau mau jujur, saya sudah menyaksikan berbagai model kurikulum datang dan pergi seperti iklan mie instan di televisi. Dari Kurikulum 1994, KBK, KTSP, sampai Kurikulum Merdeka. Semuanya katanya untuk menyiapkan anak didik menghadapi tantangan zaman. Tapi kenyataannya, masih ada murid yang panik setengah mati cuma gara-gara harus presentasi lima menit di depan kelas, padahal sehari-hari dia bisa ngobrol di kantin sampai setengah jam tanpa berhenti
Nah, di sinilah PR terbesar pendidikan. Kita sibuk berbicara tentang critical thinking, collaboration, creativity, dan communication---empat kata keramat abad 21 yang kalau diucapkan di seminar bisa bikin pembicara terlihat sepintar Rocky Gerung---padahal di kelas sehari-hari, murid masih suka tanya: "Pak, pena saya hilang. boleh nggak pinjam pena si Budi?" Nah, 4C yang katanya senjata abad 21 mendadak kalah sama C paling klasik: cari pinjaman.
Jarak antara Teori dan kenyataan
Saya punya murid jago sekali menghafal rumus. Tapi giliran diminta kerja kelompok, mulutnya terkunci. Ada juga yang lancar bicara di depan kelas, tapi laporan yang ditulis cuma tiga kalimat singkat.
Lebih repot lagi, anak-anak sekarang hidup di dunia digital yang membuat mereka multitasking luar biasa. Bayangkan, saya pernah memergoki murid mengerjakan soal matematika sambil mendengarkan musik, sambil chatting, sambil sesekali intip TikTok. Kalau dilarang? Mereka protes: "Pak, ini kan era digital, multitasking itu keterampilan abad 21." Padahal yang multitasking sebenarnya bukan otak mereka, tapi jempolnya saja.
Nah, kalau kita tidak hati-hati, sekolah hanya akan jadi museum kurikulum. Kita pamerkan teori modern, tapi yang dipraktikkan tetap cara lama: anak duduk, dengar, catat, dan ujian. Murid hanya jadi penghafal, bukan pemecah masalah. Ada papan nama keren, ada jargon modern, tapi isinya tetap sama: anak disuruh hafal. Padahal dunia nyata lebih sering minta solusi daripada hafalan.
Humor Pahit: Murid yang "Siap UN tapi Tidak Siap Hidup"
Beberapa tahun lalu, setelah ujian nasional usai, saya sempat iseng bertanya kepada murid-murid kelas IX tentang rencana mereka setelah lulus. Ada yang menjawab mantap ingin melanjutkan sekolah, ada juga yang berkata ingin membantu orang tua. Anak-anak kita ternyata lebih siap menghadapi ujian nasional daripada ujian kehidupan. Mereka terlatih memilih jawaban A, B, C, atau D, namun sering kebingungan ketika dihadapkan pada persoalan nyata yang jawabannya tidak bisa dicetak tebal di kertas soal.
Solusi: Membumikan Keterampilan Abad 21 di Kelas
Lalu apa solusinya? Menurut pengalaman saya, ada beberapa langkah sederhana tapi nyata:
- Ubah Hafalan ke Aksi Nyata