Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta dalam Sekerat Steak Saus Almond

18 Januari 2011   03:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:27 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Astaghfirullaah!" Naim menepuk jidatnya keras-keras. Herlia mengamati itu sebagai hal yang lucu. Dan memang begitulah kesan yang hadir di wajah Naim.

"Kenapa?"

"Nggak bawa dompet!"

Tawa Herlia benar-benar pecah kini. Baginya hal itu seperti bukan masalah, dia malah menarik lengan Naim masuk ke dalam restauran itu. Meja di pojok dekat jendela kosong. Herlia tergesa mendudukinya. Naim yang masih menyisakan kegugupannya pasrah juga duduk berhadapan.

"Kita mau makan, kan?"

"Ii...iya, tapi..."

"Dompet gak dibawa?"

"Ya!"

Herlia tersenyum manyun. Tapi itu belum juga menetralkan kegalauan Naim. Beberapa kali ludahnya tertelan, sebanyak itu juga Herlia tertawa hampir tak bersuara.

"Kamu bawa uang? A...aku pinjem dulu deh!"

"Nggak!" Herlia menggeleng santai. Kemudian matanya serius mengikuti gerak telunjuknya pada gambar-gambar hidangan yang tersaji di daftar menu itu. Lalu terhenti pada gambar steak dengan saus almond, kepalanya manggut-manggut.

Naim hening, hanya tarikan nafasnya saja yang terdengar. Dia memang belum menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal sebagai penanda perasaannya yang tambah kacau, mungkin nanti setelah bill itu diterimanya. Saat ini dia terus berharap, Herlia cuma bercanda saat dia bilang tak bawa uang. Mana mungkin, dia gadis kaya. Naim pernah melihat deretan kartu kredit di dompetnya. Ah, aman sepertinya, kecuali kalau dompetnya juga ketinggalan.

"Tadi kamu buru-buru nelpon sih, jadi lupa juga bawa dompet," tambah Herlia.

Kok tepat??? Jantung Naim serasa berhenti. Bahkan dia berharap berhenti betulan, hingga adegan selanjutnya yang pasti bakal memalukan itu tak kan pernah disadarinya.

"Kenapa sih?" heran Herlia hambar.

"B…ba...bayarnya?"

"Itu kan bawa HP? Hmm…, sejuta ada tuh!"

Serta-merta mata Naim tertuju pada Nokia N72 yang tergoler pasrah di atas meja. Mungkin ini jalan keluar. Sepertinya bakal cukup sebagai pengganti makanan di sini. Amanlah, dia tinggal mencari alasan pada Ma'mar pemilik counter yang HP-nya dia pinjam.

"Samain aja ya?" saran Herlia ketika pelayan datang menulis pesanan yang ditunjukkan. "Oh, ya! Vanilla ice cream-nya jangan ditambah apa-apa lagi, ya!"

Waiter mengangguk dan pergi. Naim menarik napas dan membisu.

****

"Don't ever do that again!" bentak Naim bercampur kesal dan lega. Yang dibentak malah terbahak sambil membawa badannya keluar dari pintu restauran. Tangannya yang berusaha mengapai jemari Naim belum juga menyentuh. Naim masih belum percaya pada apa yang terjadi di dalam tadi. Seperti juga pada Nokia N72 yang masih digenggamnya.

"Aku nggak bohong kan? Aku emang nggak bawa dompet juga." Tawa itu masih belepotan di tiap katanya yang terucap. Entah kenapa Herlia senang sekali mengerjai kekasihnya seperti ini. Dia menyebutnya itu sebagai cara menunjukkan cintanya pada Naim. Meski terkesan aneh. "Marah niiih...?"

Naim diam. Pastinya tidak. Tarikan napasnya seperti menjawab itu. Apalagi tangannya kini membiarkan jemari Herlia menyusup pada pergelangannya. "Habis kamu tuh serius banget sih. Apa-apa bagimu harus terencana. Padahal hal-hal yang spontan dan tak terduga malah bikin hidup kita terasa indah dan berwarna. Kita jadi berpikir lebih kreatif untuk menghadapinya. Karena memang yang seperti itulah yang bakal sering menghampiri hidup kita."

Naim mengangguk lemah. Senyumnya hampir sama terlontar seperti yang dia lihat di wajah Herlia. Mungkin benar, selama ini jalan hidupnya selalu terkesan terencana. Dia baru melakukan suatu hal jika sudah dipikirnya panjang-panjang. Itu alasan lain untuk ketakberaniannya mengambil keputusan. Juga soal menikah ketika ditanya orang tua Herlia minggu lalu. Bermacam pertanyaan dan kekhawatiran penuh masuk ke otaknya. Padahal Naim termasuk lelaki yang beruntung. Pekerjaannya sebagai desainer grafis yang baru dijalaninya memang tak sebanding dengan dua buah perusahaan milik ayah Herlia, dimana Herlia ikut membantu di dalamnya. Tapi itu bukan menjadi halangan bagi orang tua Herlia apalagi bagi gadis itu. Orang tua Herliya sangat terbuka dan menerima. Karena dulu mereka pun memulai usahanya dari bawah. Asal ada kesungguhan dan keyakinan untuk membuat putrinya bahagia, tak ada alasan lain yang bisamenghalang itu. Naim harus mempertimbangkan hal ini benar-benar. Begitu juga dengan ucapan Herlia tadi. Hidup tak perlu banyak berencana, karena hal-hal yang spontan dan tak terduga lebih sering mampir di hidup kita.

“Jadi…restaurant itu milik ayah kamu?”

“Baru take over!”

“Nanti kamu yang megang itu?”

“Yup!”

“Aneh ya cara kamu ngasih tau itu…”

“Hahaha…! Nyesel ya steaknya nggak kamu abisin tadi? Emang kalo dimakannya setengah bayarnya juga setengah? Hahaha!”

“Sialan!” Naim gagal mencubit pinggang Herlia yang keburu menghindar. Kemudian mereka bergandeng tangan lagi menyusur jalan menuju pulang. Ah, memang beruntung sekali Naim. “Eh, nanti malam aku ke rumah ya? Aku mau bertindak spontan juga?”

Mata Herlia terbelalak, “mau ngapain?”

“Namanya juga spontan, masa mesti dikasih tau.”

“Mau apaan, sih?”

“Hahaha! Bersiaplah hidup kita memang sering didatangi hal-hal yang tak terduga.”

Herlia mencoba memecah penasarannya sambil berusaha menghentikan langkah Naim yang terus melangkah sambil tertawa-tawa. “Naim, mau ngapaiiin….?”

“Liat aja nanti. Hahaha!”

“Naiiiiim….!”

*****

Cirebon, 18 Januari 2011

Hehe, romantis ya?...

Tokoh dan kejadian adalah fiktif belaka…jika ada kesamaan nama, emang kebetulan ngetiknya begitu. :D

gambar diambil dari www.eat-well-stay-well.blogspot.com

To Naim, sedikit hadiah segar setelah masa berkabung berangsur hilang…tetap semangat dan berkarya!

To Herlia, semoga kisah ini bisa mengubah pandangan bahwa cinta bisa sedemikian indah

To Ma’mar, ikhlasin aja Nokia N72-nya buat Naim :D

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun