Mohon tunggu...
Refondi Ramadha
Refondi Ramadha Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

Penulis Garing Yang Punya Cita-CIta Untuk Mengelilingi Dunia Tapi Takut Mabuk Kendaraan Ini Punya motto "Menulis sebagai bentuk syukur atas karunia Tuhan dan media berbagi kebahagian"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebungkaman yang Menjadi Penutup Legenda Gunung Kelud

10 Januari 2021   20:09 Diperbarui: 10 Januari 2021   20:13 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Stijn Dijkstra from Pexels


Cerita rakyat hadir dalam masyarakat sebagai media edukasi, sarana menasehati dan juga mengatur kebiasaan masyarakat. Dengan cerita rakyat itu pula sebuah objek atau tempat tertentu menjadi lebih bermakna melalui pendongengan yang acapkali memainkan fantasi.

"Jangan bodo seperti Lembusuro, dan jangan pula mementingkan diri sendiri seperti putri kilisuci" Kalimat itulah yang aku ingat dari bapakku waktu bercerita tentang Legenda Gunung Kelud.

Memang bapakku nyaris keluar dari pakem yang ada dalam becerita mengenai legenda. Tapi satu hal yang tidak bisa membuatku berhenti tertarik adalah karena pola pikirnya atau sudut pandangnya begitu spesial. Beda dari yang lain deh pokoknya

"semua nya salah, tidak ada yang benar. Baik yang dikubur maupun yang mengubur gundukan yang kita sebut gunung Kelud itu" pungkas bapakku

Beliau juga dengan runtutnya mengungkapkan bahwa sejatinya legenda gunung kelud merupakan penggambaran siklus pasangan atau hubungan rumah tangga yang tidak sehat.

Bermula dari si Lembusuro yang digambarkan sebagai sosok suami/kekasih pria. Dia hanya memperbudak dirinya sendiri tanpa pernah memahami maksud dari si wanita. Dengan terus menggali sembari mendewakan wanita dambaannya adalah sebuah kesalahan. Semua akan sirna, tidak ada yang abadi. Jadi jika hanya berpatok dengan dia, ya jangan kaget kalau nanti terkubur dalam lubang kegalauan yang digali sendiri.

Menjadi realistis dan selalu berfikir positif adalah usaha yang baik untuk menghidari kesalahan itu.

Si Kilisuci juga tidak menjadi pengecualian dari objek bahasan bapak. Dia adalah gadis yang tidak bisa berterus terang dengan perasaanya, satu hal yang diinginkannya hanyalah rasa aman. Dia tidak mampu menolak namun juga tidak mau terhadap keberadaan kekasihnya. Alhasil dengan menutup hubungan dengan kuburan tanah harapnnya dia bisa lepas dari tekananya.

Sayang sekali itu salah. Bahkan risikonya atas hal itu harus ditanggung keluarga, teman, dan juga keturunannya. Coba saja dia memilih untuk menolak, maka pengorbananya jika diancam Lembusuro pun akan dimaknai sebagai perjuangan kaum wanita dalam menentukan kehendak.

Keadilan yang dibawa-bawa untuk bersimpati pada Lembusuro adalah hal kuno. Begitu pula pembenaran atas perbuatan Kilisuci adalah sebuah kecerobohan.

"Dalam permainan catur harus ada pihak yang kalah dan menang. Jika hanya bungkam dan diam saja saat melangkah. Maka yang jadi hanyalah ibumu yang memorak porandakan papannya karena kelamaan main hahaha" Dasar joke bapak-bapak yang aneh.

Tapi sejenak aku menangkap apa yang dimaksud bapak. Menang-kalah, hidup-mati, maju-mundur dan lainnya adalah sebuah pilihan hidup. Kita tidak usah khawatir dengan konsekuensinya, karena ada Yang Maha Kuasa. Yang kita takutkan harusnya jika kita diam dan merusak keseimbangan permainan. Bukan hanya diri sendiri yang kena, namun juga seluruh isi dunia ini akan ikut terporak porandakan.

Maka dari itu, memahami diri sendiri dan menghindari bungkam adalah cara yang baik agar kita tidak terkubur dalam lubang keputusasaan. Semua manusia pasti berbohong dengan menjadikan perut sebagai pusat berfikirnya. Jadi tidak masalah jika nanti pilihanmu itu buruk.

Aku cukup paham, bapak berusaha menasehatiku. Namun dia sedikit berbasa basi dengan mengajak berfikir mengenai makna dari sebuah Legenda atau Cerita rakyat. Aku hanya bisa membalas dengan senyuman anak rumahan pada umumnya.

"Jadi sudahkah kamu punya pasangan le? bapak ingin ta-"

"Healah pak, sabar wes" Potongku yang mulai muak dengan pertanyaan itu

Sudah kuduga pasti menjurus ke situ pembicaraan ini. Dasar...

. Berakhir .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun