Mohon tunggu...
Aulia Rahmaddin
Aulia Rahmaddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa tingkat akhir. Menurut penuturan Pak Memen (Dosen mata kuliah Tradisi Lisan dan Kajian Puisi Lisan saya), lebih baik saya menjadi donatur tetap kampus.

Selanjutnya

Tutup

Music

Mengenal Panji Sakti Melalui "Kepada Noor" dengan Kajian Semiotik

6 Juni 2023   03:23 Diperbarui: 6 Juni 2023   03:45 4481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

MUSIK SEJATINYA MERUPAKAN SALAH SATU BENTUK SENI yang memiliki banyak penggemar, dan jiwa yang dimunculkan di dalamnya tidak pernah lekang dimakan waktu. Sebut saja musik dan lagu-lagu dari Elvis Presley, The Beatles, bahkan hingga Koes Plus masih saja didengar oleh berbagai macam kalangan masyarakat, di mancanegara dan pula di Indonesia.

Bandung memiliki salah seorang musisi bernama Panji Sakti. Nama aslinya adalah Panji Siswanto bin Suparlan bin Sastro, seorang penulis lirik dan lagu kelahiran Bandung, 13 Januari 1976. Selain menulis lagu, Panji acap kali memusikalisasikan puisi kawan-kawan atau penyair-penyair lain. Hingga kini, beliau masih berkutat dengan “jiwanya yang sekuntum bunga kamboja”, dunia musik itu sendiri.

Kepada Noor”, merupakan sebuah puisi milik Moch. Syarip Hidayat yang dimusikalisasikan oleh Panji Sakti pada tahun 2003. Musikalisasi puisi tersebut berasal dari salah satu puisi Syarip yang berjudul “Kepada Noor 3”. Sebelumnya, puisi yang ditulis Syarip tersebut terdiri dari tiga bagian: “Kepada Noor 1”, “Kepada Noor 2”, dan “Kepada Noor 3”. Anehnya –dan entah kenapa, musikalisasi berjudul “Kepada Noor” tersebut pada tahun 2023 ini lantas viral di berbagai platform sosial media seperti Tik Tok dan Instagram. Isi konten yang memakai musikalisasi puisi tersebut berbagai macam, dengan didominasi konten-konten ‘galau’ dan sedih, meskipun beberapa di antaranya konten perjalanan dan pemandangan alam.

Lantas, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa musik tidak lekang dimakan zaman. Musikalisasi puisi (baca: lagu) “Kepada Noor” ini diciptakan pada tahun 2003. Lingkungan jurusan saya di kampus memang mengenal Panji sebagai salah satu pegiat seni dengan lagu-lagu dan musikalisasi-musikalisasi puisi buatannya, bahkan beliau pernah diundang ke acara Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia (GBSI) yang dibuat oleh himpunan jurusan saya di tahun 2017 dan 2019. Memang, musikalisasi puisi “Kepada Noor” ini menjadi salah satu lagu yang membuat beberapa di antara kami terpikat.

Sebelumnya, saya pikir bahwa Panji Sakti merupakan seorang musisi yang segmented dan hanya di kalangan kami saja (baca: pegiat sastra) yang mengenal beliau sebagai salah satu pegiat seni dan sastra dengan karya-karya musikalisasi dan lagunya yang ‘sastrawi’. Namun, entah mengapa setelah dua dekade berselang setelah dibuatnya musikalisasi puisi tersebut, karya buatannya itu viral di tahun 2023. Bahkan, pendengar lagu tersebut di platform musik Spotify Panji Sakti dengan albumnya yang bertajuk “Tanpa Aku” yang dirilis tahun 2022 telah mencapai 2 juta lebih pendengar dan memiliki pendengar bulanan sebanyak 800 ribu lebih. Berikut saya tuliskan lirik musikalisasi puisi “Kepada Noor”.

“Seperti burung yang sedang membuat sarang

dari rumput dan ilalang

Kususuri setiap keindahan di wajahmu,

kusematkan ...

 

Rindu adalah perjalanan mengurai waktu,

menjelma pertemuan demi pertemuan.

Catatannya tertulis di langit malam,

di telaga, dan di ujung daun itu

 

Rindu mengekal menyebut namamu berulang-ulang”


Sempat beberapa kali saya dengar dari beberapa senior di kampus kalau puisi ciptaan Moch. Syarip Hidayat tersebut adalah sebuah puisi yang “belum selesai”. Dalam artian, mungkin saja puisi tersebut belum diselesaikan secara matang, dan kebetulan memang tidak diselesaikan. Meskipun kenyataannya benar begitu –semoga saja salah, tapi Panji Sakti membawakannya dengan sangat matang dan menutup kekurangan dari puisi tersebut.

Roland Barthes, salah satu pengemuka semiotika yang meneruskan pemikiran dan pandangan dari Ferdinand de Saussure. Berdasarkan semiotika yang dikembangkan Saussure, Barthes mengembangkan dua sistem penanda bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan sistem konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Dalam hal puisi ini, pastilah terdapat berbagai macam tanda yang hadir di dalam penulisannya.

Larik di bait pertama bertuliskan //Seperti burung yang sedang membuat sarang/dari rumput dan ilalang/Kususuri setiap keindahan di wajahmu,kusematkan .../. 

Makna denotasi pada bait pertama puisi tersebut adalah seperti burung yang membuat sarang dari barang-barang yang banyak di alam liar, aku lirik menyusuri keindahn di wajah kamu lirik dan menyematkan sesuatu di dalamnya. Sedangkan makna konotasi dari bait puisi tersebut adalah semisal burung yang membuat sarang dengan rumput dan ilalang atau bahan-bahan di alam liar yang biasanya tidak terpakai, aku lirik ingin membuat sarang juga dengan mencari bahan-bahan tersebut di wajah pujaan hatinya. 

Bagi aku lirik, wajah pujaan hatinya adalah sarang bagi aku lirik, yang berarti tempat pulang, berteduh, dan beristirahat. Bait tersebut mengisyaratkan hal romantis yang mana aku lirik ingin menjadikan wajah pujaan hatinya sebagai tempat pulang atau rumah.

Pada bait kedua musikalisasi puisi tersebut bertuliskan /Rindu adalah perjalanan mengurai waktu/menjelma pertemuan demi pertemuan/Catatannya tertulis di langit malam/di telaga, dan di ujung daun itu/. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun