Mohon tunggu...
Ramadianto Machmud
Ramadianto Machmud Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism

Email: ramadianto.machmud@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Amelia Nama Istriku (Bagian 2)

10 Maret 2021   07:57 Diperbarui: 18 Maret 2021   15:00 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kebahagiaan ini sulit digambarkan. Pastinya dengan hadirnya se-sosok manusia, mungil nan cantik menambah semaraknya kehidupan keluargaku. Senyum ku mengambarkan semua itu. Meskipun kenyataannya si cantik itu masih berjuang untuk hidup. Setidaknya untuk dirinya sendiri. Dan ku pastikan, si cantik itu berada dalam penanganan dokter.

Tak terasa sudah dua menit ku berada di ruang inkubator. Dan aku pun harus beranjak ke ruang operasi. Melihat bagaimana kondisi istriku setelah persalinan. Betapa terkejutnya diriku, memandang situasi di dalam ruangan itu. Saat menyaksikan beberapa dokter terlihat panik. Dimana para dokter tiba-tiba memberikan tanda 'darurat'. Mereka saling berlarian, membuatku semakin bingung. Tak mengerti apa yang sedang terjadi di ruangan itu.

Ku hanya bisa terdiam. Tak satu kata pun keluar dari mulutku. Diam membatu dengan pandangan tertuju pada wajah istriku. Seolah-olah waktu berjalan sangat lambat. Saking lambatnya, entah berapa lama ku terpaku memandang wajah istriku. Wajahnya pucat, warna bibirnya berubah biru keunguan. Bibir yang ku kecup terakhir kali sesaat sebelum dirinya berlalu dari hadapanku, dan masuk ruang operasi.

Rasanya ruangan dimana ku berdiri mulai menyempit. Seperti berusaha memusatkan perhatianku pada tindakan para dokter yang sedang berupaya mengembalikan denyut jantung istriku. Situasi itu baru ku sadari setelah salah seorang dari antara para dokter merangkul tanganku dan membawaku lebih dekat, ke samping meja operasi. 

Melihat secara dekat tindakan para dokter yang berupaya sekuat tenaga menyelamatkan nyawa istriku. Terdengar sayup-sayup di teligaku, 'Pak, Bapak, berdoalah. Berdoalah, sekiranya bagi istri bapak. Bapak harus kuat. Kami akan berusaha semaksimal mungkin, buat ibu,' kata para dokter kepadaku.

Ku berusaha sekuat tenaga maju selangkah lebih dekat lagi. Ku posisikan diriku tepat berada disamping kanan kepala istriku. Ku usap wajahnya, ku belai rambutnya, dan ku kecup keningnya. Ku ucapkan doa di telinganya, dan ku bisikkan, 'semuanya akan baik-baik saja. Kembalilah kepadaku. Anak-anak kita sedang menunggumu. Ku mohon padamu. Tetaplah bersamaku, jangan pergi. Jangan tinggalkan ku sendiri. Bayi kita perempuan. Wajahnya Cantik, matanya, hidungnya, bibirnya persis sama denganmu. Ame... Ame... Amelia!!! Ma... Ma... Ma!!! Bangunlah... Bayi kita memerlukan kasih sayangmu dan aku butuh kau disampingku,' dengan terbata-bata ku panggil namanya.

Air mata rasanya ingin tumpah. Ku coba menahannya, namun tetap saja hal itu tak bisa ku tahan. Semakin kuat ku tahan, air mataku berderai dengan sendirinya. Ku rangkul dengan sekuat tenaga istriku. Ku genggam erat tangannya. Berharap akan ada keajaiban. Keajaiban untuk mengembalikan dirinya kepadaku. Paling tidak pertolongan yang dilakukan para dokter, tidaklah sia-sia.

Hatiku berkata, apakah kali ini semesta mendukungku? Ataukah semesta sedang berusaha mempermainkan emosiku? Kenapa harus dalam situasi seperti ini? Mengapa harus dengan kondisi seperti ini? Apa yang harus ku lakukan? Oh Tuhan, ku serahkan semuanya ke dalam tanganMu. Bila semua yang terjadi atas perkenananmu, maka terjadilah sesuai kehendakmu.

Sehabis hatiku berkata demikian, waktu kembali seperti biasanya. Waktu yang tadinya terasa lambat, telah kembali seperti semula. Akan tetapi para dokter tiba-tiba menghentikan semua tindakannya. Sudah lima belas menit lamanya mereka berusaha. Mereka belum bisa menemukan denyut jantung istriku. Sepintas terpancar raut muka yang kelelahan, frustrasi, marah disertai perasaan kecewa.

Meskipun mereka mencoba menyembunyikannya dari pandanganku. Namun, nampak jelas dimataku. Satu kalimat utuh kembali menyentuh telingaku, 'Kami sudah berusaha semampunya, Pak. Tapi, Ibu tak tertolong lagi. Kami mohon maaf, Pak,' kata dokter sambil memegang lengan kananku.

Seketika itu juga isak tangisku pecah. Tak bisa lagi ku kendalikan. Aku pun teriak sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya. Tak perduli dengan semuanya. Ku peluk dengan sekuat tenaga istriku. Tak ingin ku lepaskan. Aku tak percaya, bahwa dirinya telah tiada. Walau ku tahu tubuhnya masih dalam pelukanku. Teriakanku menggelegar di tengah malam. Seisi ruangan pun hening. Hanya teriakanku yang memantul di dinding lorong rumah sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun