Mohon tunggu...
Ramadhani Ray
Ramadhani Ray Mohon Tunggu... -

writing | Literature | disability | Human Rights | Youth | Leadership

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film Jingga: Gambarkan Kehidupan Tunanetra Sesungguhnya

5 Maret 2016   22:59 Diperbarui: 6 Maret 2016   10:53 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya dan relawan pembisik menemukan tempat duduk kami. Tidak lama, lampu studio padam dan film pun dimulai. Segera, saya terlarut pada jalannya cerita. Meneliti adegan demi adegan selama film berlangsung.

Suatu hari, Jingga mulai merasakan daya pengelihatannya menurun. Semua tampak buram dalam pandangan, hingga ia selalu menabrak benda-benda saat berjalan. Jingga memang telah divonis menyandang low vision—salah satu katagori tunanetra yang masih punya sisa pengelihatan. Akan tetapi, akibat pukulan pada mata yang dilayangkan oleh seorang siswa di sekolahnya, kondisi low vision Jingga menurun drastis hingga menjadi totally blind.

Putus asa, jelas Jingga rasakan. Terlebih sang ayah tidak bisa menerima begitu saja kenyataan tersebut. Meski begitu, ibunda Jingga terus menguatkan dan mengupayakan jalan keluar bagi putra sulungnya. Frustasi, namun Jingga tidak ingin terus tenggelam. Bagaimanapun, ia ingin kembali melanjutkan sekolah, bahkan sampai ke perguruan tinggi seperti anak-anak seusianya. Terenyuh dengan keinginan putranya, akhirnya sang ibunda mengantar Jingga memasuki sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB).

Di SLB tersebut, kehidupan baru Jingga dimulai. Bukan hanya belajar membaca huruf Braille atau teknik kemandirian mobilitas, di sekolah itu Jingga menemukan semangat hidup baru, bahkan sahabat-sahabat baru. Marun, Magenta, dan Nila adalah tiga sahabat yang mewarnai hari-hari Jingga. Mereka berempat tergabung dalam sebuah band. Saat masih bisa melihat, Jingga memang sudah pandai bermain drum. Ternyata bakat itu dapat terus ia gunakan setelah menjadi tunanetra. Maka, jadilah Jingga drummer andal dalam band yang diikutinya  bersama ketiga sahabatnya.

Sebagai tunanetra, tentu saya sangat mengapresiasi kehadiran film Jingga. Adegan demi adegan yang ditayangkan benar-benar mencerminkan kehidupan kami—bahwa gelap tak lantas memupuskan suka cita dalam hidup kami. Tokoh Marun yang terkesan konyol berkali-kali membuat penonton tergelak karena dialog yang diucapkannya. Salah satu adegan yang saya sukai, yaitu ketika keempat sahabat sedang berjalan bersama menyebrang jalan. Kurang lebih dialognya seperti ini:

Marun: “Ayo nyebrang!” (Marun melangkahkan kaki ke zebra cross diikuti ketiga sahabatnya yang saling berpegangan pada pundak seperti sedang bermain kereta-keretaan).


Jingga: “Kok kamu tahu kalau lampunya merah?”

Marun: “Dengar tuh pakai kupingmu. Kalau bunyi kendaraan berhenti, berarti lampunya merah. Jadi kita bisa nyebrang. Kalau masih ada bunyi kendaraan, ya jangan nyebrang. Nanti ditabrak.”

Jingga: “Memang kamu pernah ditabrak?”

Marun: “Kalau ditabrak ya nggak pernah. Tapi kalau nabrak mah sering” (dituturkan dengan nada santai dan jenaka).

Dari dialog tersebut, penonton dapat memahami bahwa para tunanetra memang gemar mengasah ketajaman indera pendengaran sebagai pengganti fungsi mata. Kami juga dapat mengenal situasi meski tanpa pengelihatan yang sempurna. Selain itu, bagaimana cara tokoh Marun bertutur mencerminkan bahwa kondisi ketunanetraan tak lantas membuat kami terus larut dalam kesedihan--justru acap kali dijadikan bahan candaan satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun