#Wisma MPR dibakar #Polisi Lindas Ojol #Affan Kurniawan #Polisi Pembunuh?
Oleh: R. Hady Syahputra Tambunan
Latar belakang pendidikan di bidang hukum, bekerja sebagai karyawan swasta, aktif menulis di media online dengan fokus pada kritik isu politik, sosial, budaya, dan hukum. Terlibat dalam kegiatan kerelawanan politik serta memiliki minat besar pada kajian filsafat.
Peristiwa pada Kamis, 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21), tewas dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di kawasan DPR/MPR, Jakarta Pusat, bukan sekadar kecelakaan lalu lintas. Ia menjadi simbol patahnya kontrak sosial antara negara dan rakyat.
Respon masyarakat berupa demonstrasi besar di Jakarta dan berbagai kota lain mencerminkan bukan hanya duka, tetapi juga frustrasi politik yang terakumulasi. Aparat, yang dalam teori Hobbes berfungsi menjaga keamanan kolektif, justru dipersepsikan melanggar mandat dasarnya: melindungi kehidupan warganya.
II. Psikologi Massa: Dari Emosi ke Aksi Kolektif
Dalam perspektif psikologi sosial, fenomena ini menunjukkan manifestasi dari collective outrage. Ada tiga aspek yang dapat dicatat:
- Efek penguatan massa
Merujuk pada teori crowd psychology Gustave Le Bon, individu yang semula ragu atau pasif menjadi larut dalam arus kolektif. Identitas pribadi melebur dalam identitas massa, menghasilkan solidaritas spontan sekaligus perilaku ekstrem. - Trauma kolektif dan emotional contagion
Tragedi Affan mengaktifkan memori sosial tentang kekerasan aparat di masa lalu (misalnya kasus 1998, atau penembakan laskar FPI 2020). Trauma kolektif ini memperbesar resonansi emosi, menciptakan "penularan kemarahan" yang cepat dan nyaris otomatis. - Frustrasi dan agresi
Dalam teori Dollard dkk. (frustration-aggression hypothesis), agresi massa sering lahir ketika jalur aspirasi politik ditutup. Ketika ruang dialog dirasakan buntu, ekspresi kemarahan beralih menjadi tindakan destruktif-pembakaran ban, penyerangan simbol otoritas, hingga penolakan frontal terhadap aparat.
III. Filsafat Kemarahan Publik: Negara yang Gagal Menjadi Moral Community
Secara filsafat, insiden ini bisa dibaca melalui beberapa kerangka:
- Thomas Hobbes menekankan bahwa warga menyerahkan haknya pada Leviathan agar terlindungi. Namun, jika Leviathan justru memangsa warganya, kontrak sosial kehilangan legitimasi.
- John Locke menambahkan, ketika negara gagal melindungi hak hidup (right to life), rakyat berhak melakukan resistensi. Demonstrasi pasca tragedi adalah bentuk aktual resistensi itu.
- Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem berbicara tentang banalitas kejahatan: aparat yang menjalankan prosedur tanpa refleksi moral. Rantis yang melindas manusia seperti benda menunjukkan bagaimana birokrasi represif bisa menihilkan martabat individu.
- Walter Benjamin membedakan antara law-making violence dan law-preserving violence. Aparat seharusnya menjaga hukum, bukan menciptakan kekerasan baru. Ketika hukum gagal, Benjamin menyatakan bahwa "keadilan revolusioner" bisa lahir dari tindakan rakyat.
IV.Nalar Publik yang Terguncang