Dalam internal PDIP, muncul istilah yang menarik: "berkeringat" dan "tidak berkeringat". Istilah ini digunakan untuk menggambarkan siapa yang dianggap sudah bekerja keras demi partai (berkeringat) dan siapa yang dinilai naik posisi tanpa perjuangan berarti (tidak berkeringat).
Narasi ini bukan sekadar metafora, tapi alat politik yang efektif untuk mengatur persepsi dan legitimasi kader.
Teori Filsafat Politik
Antonio Gramsci, dalam teori hegemoni, menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya ditegakkan lewat struktur formal, tetapi juga melalui bahasa dan narasi yang membentuk kesadaran kolektif.
Bahasa politik seperti "berkeringat" menciptakan hierarki moral internal: mereka yang dianggap "berkeringat" mendapatkan legitimasi moral dan politik, sedangkan yang "tidak berkeringat" dianggap tidak sah secara moral untuk memimpin.
Analisis Kasus
1. Makna 'Berkeringat'
Merujuk pada kader yang membangun basis suara, turun langsung ke akar rumput, dan menghadapi risiko politik demi partai.
2. Makna 'Tidak Berkeringat'
Sering disematkan pada kader yang menduduki posisi karena koneksi keluarga atau politik dinasti, tanpa riwayat perjuangan di lapangan.
3. Fungsi Narasi
-Internal: memperkuat rasa bangga di kalangan kader lapangan.
-Eksternal: membentuk citra partai sebagai organisasi yang menghargai kerja keras.
-Politis: digunakan untuk memengaruhi dukungan dalam perebutan posisi strategis.
-4. Konteks PDIP Pasca Pilpres
Narasi ini muncul di tengah isu suksesi dan perbedaan gaya kepemimpinan antara Puan (yang disebut sebagian pihak kurang "berkeringat") dan figur seperti Hasto atau kader daerah yang aktif di lapangan.
Kesimpulan
Narasi "berkeringat" vs "tidak berkeringat" memperlihatkan bagaimana bahasa politik bisa membangun atau meruntuhkan legitimasi seseorang. Dalam konteks filsafat politik, ini menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya soal jabatan formal, tetapi juga soal pengakuan simbolik yang dibangun lewat cerita dan persepsi.
Pertanyaan ala Filsafat Politik
Apakah legitimasi politik seharusnya diukur dari kerja nyata di lapangan, atau cukup dari kapasitas strategis dan hubungan elite?
Dan, apakah narasi semacam ini benar-benar adil, atau justru menjadi alat propaganda internal untuk menyingkirkan lawan politik?