kita sedang mengapung di jalan basah. anak-anak tumbuh kayak bunga, akarnya menjerat teks-teks buku pelajaran dan menunjukkan dirinya buat apa mereka berkembang di atas air, membayangkan kesedihan di masa depan, sementara hujan membanjiri sebuah taman. orang tua kita duduk menunggu kereta api, kayak kucing yang waspada tertidur di tengah kabut. buat menghangatkan diri dari momen ini, kita membakar banyak jejak dari ratusan kalender saja, duduk di bawah jam dinding yang hancur. sementara di luar sana mendung lagi mengudap biji bunga matahari dan meneguk air mata anak-anak dan orang tua kita.
harusnya kecemasan ini nggak dijadikan jawaban atas pertanyaan ceritakan momen Anda, tapi kepala kita adalah perpustakan yang berantakan. itulah sebabnya kita diwarisi begitu banyak topeng; meskipun kita nggak peduli, tapi kita tahu banyak, sesuatu yang seperti, "Tersenyumlah padaku sambil marah, kita sama-sama lapar dan ketakutan sebab jalanan ini kelewat panjang dan suara kita melengking kayak kereta api, apakah kita kereta api, siapa yang bikin stasiun di ujung sana, kita sudah tahu, tapi nggak begitu kenal karena suara kota ini berisik banget!"
besok kita kena hujan lagi, jalan ini semakin basah saja. kita mendesing ke mana-mana. kabut melayang di atas kepala anak-anak dan bunga. orang tua kita tersenyum dalam keramaian yang bisu, sambil merasa ngantuk dan beku, kita berjalan terus mendoakan mereka. sementara di ujung sana lampu yang terang belum dinyalakan.
Bks, 114917