Judul : Menjadi Nelayan
Penulis : Ramadhan
Suasana pesisir pantai tampak lengang. Dari jendela rumah, aktivitas pedagang yang biasanya tumpah ruah di tepi pantai sedang tak tampak, hanya terlihat beberapa pedagang ikan yang membereskan terpal untuk tempat menggelar ikan hasil tangkapan.
Sudah belasan tahun aku hidup di pesisir, mengamati aktivitas warga Kampung Kalongan yang tidak pernah surut. Namanya Kampung Kalongan.
Dijuluki begitu karena aktivitas warga, terutama para nelayan, dimulai malam hari, bak kalong atau kelelawar yang aktif di waktu malam.
Ketika pagi menjelang, iring-iringan kapal nelayan tradisional yang masih mengandalkan angin berebut menepi di pesisir disambut anak istri mereka yang siap menjual hasil tangkapan pada tengkulak atau pembeli yang jauh-jauh datang dari kota.
Berbeda dengan nelayan tradisional, nelayan dengan perahu bermotor dapat melaut kapan saja, asalkan cuaca mendukung. Sayangnya beberapa hari ini suasana tampak berbeda.
Gelombang sedang pasang. Tidak ada nelayan yang berani menantang maut, termasuk abah, sekalipun bulan ini ikan-ikan yang harganya melambung di pasaran sedang melimpah.
Abah memilih menyeruput kopi panas sambil mendengarkan lagu lawas dari radio tuanya yang sering dibawa melaut.
"Abah, kalau besok gelombang tidak juga surut, bagaimana?" tanyaku. Abah melirik sebentar, kemudian menyeruput kembali kopi panasnya.
"Ya mau bagaimana lagi, seperti tidak tahu saja kalau banyak takdir Allah yang tidak bisa ditebak. Bisa jadi hari ini terus-menerus pasang, tapi siapa tau besok tiba-tiba surut. Kalaupun Allah belum memberikan kejutan besok, masih ada lusa, masih ada hari esok." Jelas abah panjang lebar sambil membetulkan antena radio.
"Bukan begitu, Abah. Maksud Hikam, bagaimana uang bulanan sekolah yang sudah ditagih sejak kemarin?"
Abah menarik napas dalam-dalam, "Tenanglah, Hikam. Berdoalah yang banyak. Mintalah keajaiban pada Allah. Terkadang, hal yang tidak terduga justru muncul di akhir pengharapan, saat kita benar-benar pasrah pada yang kuasa." kemudian tersenyum. Meneduhkan. Dalam hati aku mengiyakan kata-kata abah.
Aku kembali menatap ke arah laut yang gelombangnya semakin lama semakin tinggi. Tak mungkin aku memaksa abah untuk melaut, apalagi menggantikan beliau.
Tubuh jangkungku akan langsung dihempas ombak, seperti Anom, sahabatku yang nekat melaut hanya karena ingin membeli mobil radio kontrol dengan uangnya sendiri.
Ia tidak mengindahkan larangan abahnya dan malah nekat melaut diam-diam.
Untunglah ketika perahunya terbalik dihempas gelombang, ada nelayan lain yang melintas dan langsung menolongnya sehingga Anom bisa selamat.
Aku tidak seberani Anom. Jangankan sampai ke laut, menyentuh perahu abah saja rasanya sudah berdebar-debar.
Dari kejauhan, terlihat jelas ombak yang meninggi tetap berkejar-kejaran dengan irama tak beraturan, sedangkan matahari tampaknya akan membiarkan sang ombak berkejar-kejaran dalam kegelapan.
Matahari memilih kembali ke tempat peraduannya. Pemandangan langit di pantai Sabtu sore ini indah dan romantis, kontras dengan gelombang laut yang semakin beringas.
Barangkali benar kata abah, sebaiknya malam ini banyak-banyak berdoa pada Allah dan segera tidur. Masih ada hari Minggu. Semoga Allah memberikan keajaibanNya agar abah bisa melaut.
namun kali ini aku berniat membantu abah sendiri. Senyum abah merekah seiring dengan mendekatnya perahu ke tepi pantai. Aku yakin, abah mendapat banyak ikan hari ini.
"Bagaimana, Abah?" tanyaku sambil membantu abah mendorong perahu untuk menepi.
"Alhamdulillah...esok hari engkau bisa membayar sekolah, Hikam." ujar beliau sambil mengelus kepalaku. Kulihat ada banyak ikan tertangkap di jaring abah.
Beberapa ikan berukuran sangat besar, beberapa yang lebih kecil ukurannya seperti paha orang dewasa, dan ikan-ikan yang sebesar telapak tangan banyak tersangkut di jaring abah.
Aku membantu abah melepaskan ikan-ikan dari jala dan memasukkannya dalam ember.
Ikan-ikan itu menggelepar-gelepar di tangan, membuatku kesulitan untuk memindahkannya, namun abah dengan cekatan memasukkan ikan tangkapannya ke dalam ember.
Hampir satu jam berkutat dengan ikan, inilah saatnya menjual ikan-ikan tadi ke pasar yang lokasinya tidak jauh dari pantai.
Ketika akan mengangkat ember, bang Togar, nelayan senior di kampung sedang meminta para kuli membantu membawakan hasil tangkapannya. Aku menyenggol lengan abah.
"Abah, lihat Bang Togar." kemudian abah melirik sekilas.
"Biarkan saja,itu rezeki dia, yang ini rezeki kita." ujar abah sambil menunjuk ember yang kubawa.
"Tapi Bang Togar curang, Abah. Dia menangkap ikan yang masih kecil. Dia pakai pukat, pakai racun, pakai bom, pakai..." kalimatku terputus.
"Apakah kau iri dengan rezeki yang ia peroleh, Hikam?"
Aku menggeleng kuat, "Hikam hanya...mm...kasihan ikannya. Kasihan laut kita, Abah. Pasti banyak yang rusak kalau menangkapnya dengan cara kasar begitu. Kasihan Bang Togar juga menjemput rezekinya dengan cara yang tidak halal. Orang lain yang tidak peduli dengan laut kita akan meniru cara Bang Togar. Sekali dua kali sih tidak masalah, tapi hidup kita terlalu mengandalkan laut, Abah. Hikam takut laut kita rusak dan tidak dapat memenuhi kebutuhan kita lagi."
Abah tertawa kecil, "Tapi jangan lupa, masih banyak nelayan yang jujur, yang mau bersabar menjemput rezekinya dengan cara halal."
Kemudian, abah berjalan mendahuluiku menuju pedagang pasar yang sudah melambai-lambai menantikan hasil tangkapan.
Pikiranku berkecamuk. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kalau hari ini hanya Bang Togar yang curang, besok tidak ada yang meniru.
Ketika kebutuhan hidup meningkat, akan ada nelayan lain yang memilih jalan seperti bang Togar. Dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan.
Tawar-menawar antara pedagang pasar dan abah berlangsung cepat. Abah menerima beberapa lembar uang limapuluh ribuan setelah terjadi kesepakatan.
Inilah saat yang paling ditunggu. Abah memberikan separuh uang yang beliau peroleh padaku,
"Untuk membayar uang sekolah." ujar abah.
"Abah, apakah Hikam harus sekolah setinggi-tingginya?" tanyaku. Aku tidak berani menatap abah. Kakiku menyaruk-nyaruk pecahan kerang di atas pasir.
"Tentu saja! Kalau perlu, merantaulah yang jauh agar ketika kau pulang, Hikam, alih-alih menjadi pegawai pemerintah, kau bisa menjadi orang besar!" ujar abah berapi-api.
"Abah, Hikam ingin menjadi nelayan, meneruskan Abah." ujarku lirih. Abah tersentak.
"Apa yang bisa kau banggakan dari seorang nelayan, Hikam? Jika diberi pilihan, abahmu akan memilih tinggal di kota, menjadi kuli atau pedagang ketimbang nelayan. Kau tau, sekalipun laut kita kaya, namun perjuangan untuk mendapatkannya bertaruh nyawa! Kau tidak tau bahaya apa yang sedang menunggu di tengah laut sana, angin apa yang akan menghempaskan perahumu, atau makhluk laut seperti apa yang akan merusak kapalmu!" Abah menjelaskan dengan nada tinggi.
"Laut terlalu berbahaya untukmu, Hikam." nada bicaranya merendah. Tanpa menoleh sedikit pun, abah berjalan meninggalkanku.
ombak di laut lepas, dan berbagai macam hal tidak terduga lainnya?" tanya abah meyakinkan.
"Insya Allah tidak, Abah. Hikam akan berusaha menjadi manusia yang bermanfaat dengan cara ini. Hikam akan belajar lebih giat lagi untuk membawa pengetahuan baru bagi warga pesisir Kalongan. Semoga dengan pilihan Hikam meneruskan pekerjaan abah, tidak ada bang Togar lain di kampung ini."
Abah memelukku erat, "Abah bangga padamu, Hikam."
"Abah, maaf kalau Hikam membuat abah kecewa." aku menatap abah dalam-dalam, "Tidak semua air harus menjadi hujan, kan, Abah? Ada yang langsung dimanfaatkan, ada yang terserap ke tanah, ada pula yang terbuang. Barangkali Hikam tidak menjadi hujan, seperti kebanyakan, tapi Hikam akan berusaha seperti air yang dapat langsung dimanfaatkan. Bukan air yang terbuang."
"Selamat memperjuangkan laut kita, Hikam. Berlayarlah. Abah mengijinkanmu," abah menutup pembicaraan sambil menyerahkan radio tuanya, "Untuk teman melaut."
"Hikam siap berlayar siang-malam, Abah!" ujarku menirukan gerakan hormat.
Dan sore itu suasana menjadi syahdu. Tekadku semakin kuat untuk belajar lebih giat.
Ada perahu-perahu yang hanya mengandalkan lautan untuk mencari rezeki, tapi ada hal yang lebih penting: ada masa depan lautan yang harus diperjuangkan.
Sinopsis Menjadi Nelayan
Menjadi Nelayan merupakan cerpen yang bercerita tentang Hikam, anak nelayan yang ingin meneruskan pekerjaan abahnya sebagai nelayan pula.
Hikam dan abahnya mengalami masalah ekonomi, apalagi saat itu laut sedang tidak baik-baik saja. Namun, kondisi segera membaik dan abah bisa melaut.
Abah selalu berusaha menyekolahkan Hikam agar bisa menjadi PNS dan tidak berakhir sebagai nelayan.
Namun, Hikam menolaknya dan membuktikan bahwa ia benar-benar serius bertekad jadi nelayan.
Tujuan Hikam baik, yaitu untuk menjaga agar lautnya tetap lestari dan ia ingin menjadi orang yang bermanfaat sebagai nelayan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI