Apa yang terjadi dengan Suparto sebelum berdamai dengan Gajah, mengingatkan kita bahwa gajah "tidak mampir tanpa alasan”.
Acapkali karena habitatnya terganggu, tempat mereka mencari pakan alami semakin sempit, dan perkebunan manusia dahulu jalur migrasi gajah.
Lahan-lahan yang dahulunya habitat mereka berubah menjadi pemukiman, kebun sawit, atau tanaman di ladang ternyata digemari gajah, sehingga hewan besar ini berkunjung tetapi manusia menganggapnya hama.
Pertemuan gajah dan manusia pun terus muncul, membawa kerugian ekonomi, emosional, bahkan kematian gajah maupun manusia.
Dikutip dari ksdae.or.id (KLIK DI SINI), di Riau, benturan manusia–gajah bukan cerita tunggal Suparto. Di Desa Petani, Kecamatan Bathin Solapan, contohnya, gajah dilaporkan memasuki kebun warga, merusak sawit, dan dinding rumah.
Petani akhirnya melapor ke Balai Besar KSDA Riau, tim pun datang untuk menenangkan dan menyelidiki
Dilaporkan amirariau.com (KLIK DI SINI) , Di Pelalawan, konflik juga muncul. Seorang petani di Kecamatan Pangkalan Kuras dilaporkan diserang oleh gajah setelah berupaya mengusir gajah masuk ke kebunnya.
Petani ini mengalami luka -luka pada punggungnya. Pihak BBKSDA Riau langsung menuju ke tempat kejadian untuk identifikasi dan mitigasi.
Agroforestri sebagai Jalan Damai
Dalam benturan yang tak teralakan itu, agroforestri muncul sebagai alternatif sebagai jalan damai. Di Riau, program agroforestri disosialisasikan di wilayah-wilayah yang paling rentan benturan seperti ; kantong habitat, rute perlintasan gajah, dan lahan petani di sekitar hutan.