Teman-teman yang lain segera menolong kami. Sakit ya sudah pasti. Kalau diingat-ingat, waktu itu merupakan hari terburuk saya jatuh dari sepeda. Tapi, jika saya mengingat kembali pengalam tersebut, hari itu sungguh merupakan kenangan yang berharga.
Sekarang teman-teman sekomplek saya pindah satu persatu termasuk saya. Memang dimana ada pertemuan, di situ ada perpisahan, hanya waktu yang segera mewujudkannya. Walaupun kami punya jalan masing-masing sekarang, hubungan kami tetap membaik. Bahkan kami semua ingin sekali berkumpul bersama.
2. Angkot tak datang, jalan salah satu solusinya.
Pengalaman ini terjadi ketika saya duduk di bangku SMP. Hari itu, pulang sekolah, hujan turun dengan deras nya. Kebetulan, pulang sekolah saya harus mengikuti les. Jarak dari sekolah ke tempat les bisa dibilang jauh. Maka saya harus naik angkot untuk mencapai tempat les.
Waktu itu, kami berlima harus menunggu di salah satu toko tempat idaman para anak SMP menunggu angkot. Lokasi sekolah kami, berada di tengah-tengah pemukiman warga, jadi wajar hanya ada satu jenis angkot yang lewat. Untuk mencapai jalan yang biasa angkot lewati-pun cukup jauh.
Inti masalah nya dimulai ketika kami sudah menunggu satu jam di tempat namun tidak ada satupun angkot yang lewat. Maklum, saya tinggal di ibu kota, mungkin angkot terjebak macet.
Kami berlima berunding bagaimana caranya bisa pulang. Tak ada salah satu dari kami yang membawa telepon genggam. Memang sekolah melarangnya. Waktu menunjukkan pukul 3 sore, padahal seharusnya les saya sudah mulai.
Hujan agak sedikit reda namun masih di bilang deras. Setelah berunding cukup lama, akhirnya kami sepakat jalan kaki ke perempatan jalan tempat kendaraan sering lewat termasuk angkot. Untuk mencapai perempatan jalan, sebenarnya kami harus jalan sekitar lima kilometer. Ya, lima kilometer bisa dibayangkan.
Karena kondisinya sedang hujan, kami berlima akhirnya berjalan tanpa menggunakan alas sepatu. Wow! Berjalan lima kilometer jauhnya tanpa alas sepatu. Setelah bersiap, kami melakukan perjalanan panjang untuk mencapai perempatan yang dimaksud.
Cuaca dingin kami lewati, banjir pun juga kami lewati. Kami berjalan terus, berharap ada satu angkot yang lewat. Namun nihil, dari tempat kami berteduh sampai perempatan tidak ada satupun angkot yang lewat.
Selama perjalanan, kami disungguhi lelucon-lelucon. Hingga kami tiba di salah satu perumahan. Perumahan tersebut sedang banjir. Tetapi tidak terlalu dalam, mungkin hanya semata kaki. Karena jalan perumahan merupakan jalan pintas, akhirnya kami menerobos arus banjir.