Angin berhembus menampar pori-pori bata yang tersusun rapih
Dinginnya membangunkan segerombolan sapi berjubah putih
Terhentak, berlari tak terkendali
Menyeruduk, menipu meski tahu itu haram dalam aqidah dan fiqih
Derap kuda berlari laksana cahaya
Kakinya yang tangguh menginjak sekumpulan semut yang coba bertahan hidup
Di atas bertengger sosok macan tua tersenyum angkuh layaknya raja
Mengaum lantang menebar bualan penuh retorika
Germicik air memahat kegelisahan seorang kakek tua
Kukunya yang tajam mencakar isi balutan kain ihram
Deretan uang membuatnya bersimpuh meraup sambil tertawa
Hingga lupa adanya siksaan Tuhan yang menghampiri ajalnya
Sahabat!
Masih ingatkah engkau dengan beruang berjubah kuning
Masih ingatkah engkau dengan senyumnya yang menawan
Benar, kawanku!
Senyumnya menyilaukan mata nurani kita
Hingga lupa akan derita saudara-saudara kita
Saudaraku!
Kayu itu menangis terguyur pasir
Kakinya lumpuh tertimbun lumpur yang pekat
Tidakkah kau rasakan bagaimana mereka hidup dan makan
Tidakkah kau bayangkan derita batin yang mereka pikul
Pernahkah kau berpikir apa yang terjadi dengan anak mereka
Bisakah kau bayangkan bagaimana masa depan mereka
Lumpur itu menjadikan mereka pengemis
Lumpur itu membuat mereka menangis terhina
Lumpur itu saudaraku...!
Lumpur itu yang membuat mereka mengais sisa makanan dari lumbug sampah
Tapi apakah kau sadar bahwa lumpur itu yang membuat si Jubah Kuning tertawa merdeka
Kawanku!
Gerbong ini sesak dengan hewan peliharaan
Warnahnya yang indah laksana pelangi berwarna kuning, hijau, putih, dan biru
Telah meredupkan nurani kita yang teguh
Tatapan dan ucapannya seakan mendendangkan lagu hingga kita tertidur
Tapi sadarlah, mereka adalah pencuri yang mengeruk untuk ambisi pribadi