Mohon tunggu...
raka saputra
raka saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. -J.K. Rowling

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Apakah Pesantren Menjadi Tempat Pembelajaran Agama, atau Tempat Predator Seksual Berkedok Agama?

10 Juni 2025   16:57 Diperbarui: 10 Juni 2025   16:57 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analisis Ahli Perspektif Psikolog Klinis: Dr. Orley Charity Sualang, S.Psi., MA, seorang ahli psikologi, menjelaskan bahwa pelecehan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak psikologis yang kompleks dan berjangka panjang. Korban dapat mengalami trauma yang mempengaruhi perkembangan psikologis normal mereka. Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Fakultas Hukum UI, pelecehan seksual terhadap anak akan mengganggu proses tumbuh dan berkembangnya anak tersebut. Dampak buruk psikologis yang dapat dideritanya antara lain depresi, trauma pasca kejadian, paranoid akan hal-hal tertentu. 

Dampak Spesifik pada Korban: Berdasarkan analisis KlikDokter (2024), risiko munculnya gejala-gejala depresi dapat meningkat ketika anak menjadi korban pelecehan seksual. Anak akan menunjukkan emosi sedih berkepanjangan yang kemudian mempengaruhi minat sosial, kesehatan fisik, isolasi diri, gangguan tidur, dan pikiran untuk menyakiti diri sendiri. Dalam konteks pondok pesantren, di mana korban tinggal dalam lingkungan yang sama dengan pelaku, dampak traumanya dapat semakin parah karena korban tidak memiliki ruang aman untuk melarikan diri dari situasi yang mengancam. Hal ini menciptakan "trapped victim syndrome" yang memperburuk kondisi psikologis korban.

Analisis dari Perspektif Perlindungan Perempuan Kekerasan Berbasis Gender Kasus ini juga merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang menargetkan perempuan karena jenis kelaminnya. Baik santriwati maupun guru perempuan menjadi korban karena posisi mereka yang vulnerable dalam struktur hierarki pondok pesantren yang didominasi laki-laki. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengategorikan tindakan yang dilakukan HS sebagai pelecehan seksual, yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Abuse of Power (Penyalahgunaan Kekuasaan) HS memanfaatkan posisinya sebagai kepala pondok pesantren dan figur otoritas keagamaan untuk melakukan pelecehan. Hal ini menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan yang sistematis, di mana korban tidak berani melawan atau melaporkan karena takut akan konsekuensi sosial, ekonomi, atau spiritual.

Aspek Hukum dan Regulasi 

Analisis Komprehensif Undang-Undang yang Dilanggar dan Ancaman Pidana Tindakan HS dapat dijerat dengan beberapa pasal dalam KUHP dan undang-undang khusus dengan ancaman pidana yang berat:

1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 4: Pelecehan seksual dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 tahun Pasal 5: Eksploitasi seksual dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Perlindungan Anak Pasal 76D: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain Pasal 82: Ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar

3. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 290: Pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun Pasal 294: Pencabulan yang dilakukan oleh orang yang bertugas mengawasi anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun

Analisis Ahli Hukum 

Menurut analisis dari Pengadilan Negeri Palopo, kasus seperti ini memerlukan pendekatan hukum yang tegas karena melibatkan anak sebagai korban dan figur otoritas sebagai pelaku. Perlu ada keseimbangan antara perlindungan korban dan penegakan keadilan yang maksimal. karena pada realita yang Mengkhawatirkan Data terbaru dari berbagai lembaga menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan, menurut data dari SIMFONI-PPA pada tahun  2024 Sejak Januari hingga Februari 2024, terdapat 1.993 kasus kekerasan terhadap anak. menurut laporan dari KemenPPPA tahun 2024terdapat Total 8.674 anak mengalami kekerasan seksual sepanjang 2024.

Data Terbaru Kekerasan anak mencapai 28.831 kasus pada 2024, dengan 24.999 kasus dialami anak perempuan, Hingga pertengahan Agustus 2024, korban kekerasan anak mencapai 15.267 anak Angka-angka ini menunjukkan bahwa kasus Serpong bukanlah kejadian terisolasi, melainkan bagian dari krisis perlindungan anak yang sistemik di Indonesia. Proses Hukum dan Pelaporan oleh Guru telah melakukan langkah yang tepat dengan melaporkan kasus ini ke berbagai instansi terkait, termasuk Kementerian Agama, Unit PPA Polres Tangerang Selatan, dan P2TP2A.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun