Krisis Kepercayaan Dibalik Jubah Putih
Bayangkan seorang ayah atau ibu dengan penuh harap mengantarkan putrinya ke pondok pesantren, berharap anaknya akan tumbuh menjadi muslimah yang shalihah. Namun, alih-alih mendapat perlindungan dan bimbingan spiritual, sang anak justru menjadi korban pencabulan oleh figur yang paling dipercayainya yakni kyai atau ustaz.
Kasus pelecehan seksual yang mengguncang pondok pesantren di Serpong, Tangerang Selatan, bukanlah cerita fiksi. Seorang kepala pondok pesantren berinisial HS diduga melakukan pencabulan terhadap 13 santriwatinya dalam periode yang berlangsung sejak Desember 2022. Kasus ini bagaikan tamparan keras bagi dunia pendidikan agama di Indonesia, memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan fundamental: apakah institusi yang seharusnya menjadi benteng moral justru telah berubah menjadi sarang predator?
Data terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa pada tahun 2024 saja, 8.674 anak di Indonesia mengalami kekerasan seksual, dengan total kasus kekerasan anak mencapai 28.831 kasus. Angka ini bukan sekadar statistik – di balik setiap angka tersebut ada seorang anak yang kehilangan masa kecilnya karena ulah orang dewasa yang seharusnya melindungi mereka.
Kronologi dan Fakta Kasus
Berdasarkan laporan yang diterbitkan Kompas.com, kasus ini terungkap melalui inisiatif seorang guru berinisial A yang memperhatikan adanya perilaku tidak lazim antara santriwati dengan HS. Setelah melakukan investigasi lebih lanjut, A menemukan bahwa 13 santriwati mengaku mengalami sentuhan fisik yang tidak pantas, termasuk diraba bagian payudara dan paha, serta dibelai wajah. Peristiwa ini berlangsung sejak Desember 2022, menunjukkan bahwa pelecehan terjadi dalam periode yang cukup panjang.
Yang lebih mengejutkan, dalam pertemuan dengan pimpinan pondok pesantren, terungkap bahwa salah satu guru juga menjadi korban pelecehan. Hal ini menunjukkan bahwa HS tidak hanya menargetkan anak-anak, tetapi juga perempuan dewasa, yang mengindikasikan pola perilaku predator seksual yang sistematis.
Analisis dari Perspektif Perlindungan AnakÂ
Kasus ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak anak yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 13 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.
Santriwati yang menjadi korban mengalami eksploitasi seksual yang dilakukan oleh figur otoritas yang seharusnya melindungi mereka. Hal ini tidak hanya merusak fisik dan psikis anak, tetapi juga menghancurkan kepercayaan mereka terhadap figur otoritas dan institusi pendidikan.
Dampak Psikologis pada Korban