Matahari mulai mengakar cahaya terbitnya,
seperti puisi para pengelana tadi malam yang berceloteh tentang kedaulatan sunyi.
Padi nampak cerah senyumkan mungilnya kepatuhan
merunduk sebagai bentuk sri yang hampir penuh mengisi makna bulirnya biji,
bagai ranumnya wajahmu puisi.
Sepanjang perjalanan aku bernyanyi di sudut jalan-jalan, rumah ke rumah, desa menuju rimba
layaknya puisi yang bersajak serak teriak
di ruang hati cakrawala.
Aku masih seperti kemarin,
tas ransel kumuh yang mencari kuburan tanpa kepala nisan; masih dengan kopi yang berairkan keringat rakyat jelata
yang melawan perasaan, dari penindasan ciptaan para tuan bertopengkan ketuhanan.
Pertemuan jumpanya kita sebagai semasing diri, tercatatlah seperti sebuah kesah
sebagaimana adanya percumbuan kering
apa idealismu sekarang ini!
Terus aku masih bernyanyi-nyanyi tanpa nada,
dawaiku hanya bebatuan yang bergoyang di dalam pesan sebuah botol minuman kosong.
Engkau tahu, seniMu demikian kunyanyikan bagai kekuatan sebuah makna puisi.
Masih di sepanjang jalanan. Rumahku tanpa pintu, jendela tanpa kaca, katil tanpa busa kasur
kursi tanpa bangku yang bertahta
begitulah sepanjang perjalanan.
Aku masih menulis dari tanah-tanah merah
angin yang bercumbu mesra pada udara,
di hamparan kehijauan sawah
lorong bawah tanah
aku masih menulis tanpa sekat-sekat rumah.
Dengan cinta yang tanda-tanya
jariku bertanya sepanjang keresahan jelata,
kemurungan suatu kenangan.
Sesungguhnya kemerdekaan belum menuju pada kemutlakan
rapuhlah para asmara yang terpatahkan.
Apa kau mau menjadi meja, dan secarik kertas untukku menulis.
Dalam pena kosong; kita belajar menjadi siapa manusia
bukan menjadi seperti apa tuhan.
CINTA CINTA CINTA
BUMI CINTA
2024