Beberapa hari terakhir, dunia perfilman tanah air sedang dihebohkan dengan rilisnya film animasi Merah Putih: One for All yang sudah tayang di bioskop sejak tanggal 14 Agustus lalu. Kemunculan film ini menimbulkan berbagai kritikan tajam dari para penggemar film tanah air. Bagaimana tidak? Sejak dirilisnya trailer dari animasi ini, penggemar film tanah air sudah sangat yakin bahwa film ini tidak sepadan dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli tiketnya di layar lebar. Tak sedikit pula dari masyarakat yang membandingkannya dengan film animasi Indonesia sebelumnya yang berhasil menyebabkan gelombang perubahan di film animasi Indonesia, Jumbo.
Polemik mengenai film Merah Putih: One for All tidak ada habisnya. Salah satunya adalah isu yang beredar di media sosial mengenai anggaran produksi film yang mencapai Rp 6,7 miliar itu didanai oleh pemerintah. Toto Soegriwo yang merupakan produser dibalik film ini membantah adanya dana suntikan dari pemerintah melalui unggahan di akun X pribadinya @totosoegriwo, “Kami tidak pernah menerima satu rupiah pun dana dari pemerintah.” Hingga detik ini, rating dari film Merah Putih: One for All di situs film terkenal IMDb hanya mendapat satu bintang dari 10 bintang yang tersedia.
Sutradara Hanung Bramantyo, yang pernah menyutradarai film Bumi Manusia, juga ikut mengomentari polemik perihal film ini. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa film Merah Putih: One for All bisa mendapatkan jadwal tayang di layar lebar. Padahal, banyak film Indonesia lain yang masih harus mengantri untuk mendapatkan jadwal tayang.
Pernahkah kalian menyaksikan film animasi yang tayang di layar kaca semasa kalian kecil pada awal tahun 2000-an? Kira-kira seperti itulah gambaran mengenai visualisasi dari film Merah Putih: One for All. Seperti patung lilin yang digarap oleh seorang pengrajin pemula yang baru memulai langkahnya, masih sangat perlu perbaikan dan latihan. Proporsi tubuh karakter yang tidak bisa dimasukkan akal sehat, gerakan kaku layaknya remaja yang baru mencoba pdkt ke orang yang disukainya, ekspresi yang tidak luwes dan cenderung kosong. Selain itu, gambar latar dari animasi ini juga nampak sangat tidak jelas bentuknya, seperti kresek bekas yang lusuh dan diberikan warna sesuai objek yang direpresentasikan dalam drama anak TK.
Pertanyaan selanjutnya adalah, Apakah penanggung jawab bagian audio dalam film ini baru mencoba fitur pengaturan audio pertama kalinya? Audio yang disajikan sungguh-sungguh membuat penonton yang awalnya memasuki ruangan bioskop dengan tenang jadi takut seakan melihat film horor karena audio yang naik turun tidak jelas. Bayangkan saja, sudah mata disiksa dengan visual dari animasi yang sangat “artistik” itu, kita juga harus merelakan gendang telinga kita untuk mendengar audio yang seperti sengaja diedit dengan ekstrim untuk meningkatkan adrenaline kita.
Lalu, benarkah sang sutradara dan penulis sedang demam saat menuliskan alur cerita dari film Merah Putih: One for All? Cerita mengenai sekelompok anak dengan latar belakang yang berbeda dimintai untuk menjaga bendera pusaka merah putih yang akan dikibarkan pada 17 Agustus di desa mereka, namun bendera itu menghilang. Mereka bersatu untuk mencari bendera tersebut dan melalui berbagai rintangan. Sekilas memang sangat menghangatkan hati, namun tidak logis. Jika bendera itu hilang, maka mereka hanya perlu untuk membeli benderanya. Adakah hal yang membedakan antara bendera pusaka merah putih tersebut dengan bendera-bendera pusaka merah putih lain? Saya rasa tidak, hal itu tidak pernah disebutkan dalam film itu. Meskipun secara garis besar cerita ini mengandung nilai moral yang baik, namun dalam eksekusi penulisan naskahnya masih sangat kurang.
Akan tetapi, dari masalah-masalah yang ada dalam film Merah Putih: One for All di atas terdapat masalah pelik yang menurut saya jauh lebih urgent atau penting. Karakter-karakter yang digunakan dalam film tersebut, lebih tepatnya 6 karakter diantaranya diambil dan digunakan tanpa izin dari animator aslinya yang bernama Juraid Miran asal Pakistan. Parahnya, karakter utama dari film animasi Merah Putih: One for All termasuk ke dalam 6 karakter yang dicuri dari Juraid Miran.Seharusnya kalau benar mereka adalah pekerja dalam bidang seni, mereka seharusnya paham bahwa hal tersebut tidak bisa dimaafkan. Seharusnya mereka malu. Oleh karena itu, banyak dari warganet yang menganjurkan Juraid Miran untuk menuntut tim produksi atas pencurian karya.
Dengan begini, Toto Soegriwo dan tim seharusnya bisa menjadikan ini sebagai pembelajaran. Kritikan-kritikan yang diberikan oleh para perintah film dijadikan masukan untuk karya berikutnya. Seperti bisa mempersiapkan visual animasinya dengan lebih matang, penggunaan audio yang lebih nyaman untuk audiens, dan yang terpenting adalah tidak menggunakan karakter milik orang lain tanpa izin atau pencurian karya. Untuk itu, masyarakat Indonesia berharap untuk kedepannya terdapat film animasi Indonesia dengan tema nasionalisme dan kebangsaan dengan kualitas yang lebih memenuhi standar. Lebih lanjut lagi, mereka berharap supaya ada lebih banyak film animasi karya anak bangsa yang bisa bersaing di kancah internasional.
Referensi: