Apalagi kalau sampai digunakan untuk "memperbaiki" emosi, ekspresi, atau bahkan mengganti suara aktor sepenuhnya. Di titik itu, seni peran bisa kehilangan ruhnya.
Dunia akting di era teknologi
Teknologi AI dalam film sebetulnya bukan hal baru. Kita sudah lihat wajah digital, karakter CGI, bahkan aktor yang "dihidupkan kembali". Manoj Punjabi misalnya tetap menginginkan Reza Rahadian untuk berperan menjadi Habibie muda dalam Habibie & Ainun 3 (2019).
Namun karena secara proporsional tubuh tidak memungkinkan, ia menggunakan aktor lain untuk berakting, istilahnya body double. Hasilnya akting Reza Rahadian dan aktor tersebut digabungkan dengan teknologi. Yang kita lihat di layar adalah benar muka Reza Rahadian, tapi badannya bukanlah badan Reza.
Namun kasus Brody ini sedikit berbeda karena menyentuh aspek yang sangat personal yakni suara.
Bayangkan kalau ke depan, aktor bisa bicara dalam 10 bahasa asing tanpa belajar, cukup lewat AI. Praktis? Iya. Tapi apakah itu masih seni peran?
Menurut saya selama AI digunakan sebagai alat bantu, bukan pengganti, sebetulnya kita masih berada di jalur yang sehat. Tapi transparansi itu penting, sejauh mana AI ikut berkontribusi terhadap akting sang aktor.
Penonton apalagi juri festival berhak tahu sejauh mana performa yang mereka tonton adalah hasil kerja aktor. Dan sejauh mana yang merupakan hasil kerja mesin.
Sebagai contoh, melalui situs resminya (Sept 2025), Respeecher melakukan breakdown sejauh mana penggunaan AI dalam aksen Adrien Brody. Artikel tersebut sebagai bentuk transparansi sekaligus juga jawaban akan kontroversi yang terjadi selama ini.Â
Kasus Adrien Brody ini bisa jadi contoh baik. AI digunakan untuk memperkuat, bukan menggantikan. Tapi tetap perlu diawasi. Karena kalau seni peran sudah bisa "diperbaiki" lewat teknologi, kita harus siap menghadapi pertanyaan baru soal keaslian, penghargaan, dan batas kreativitas.
Intinya, saya selalu percaya bahwa perkembangan teknologi itu suatu keniscyaan. Yang terpenting tetap menghargai proses manusia di baliknya. AI boleh jadi bantu banyak hal, tapi jangan sampai menghapus jejak emosi, usaha, dan rasa yang jadi inti dari seni.
Karena aksen mungkin bisa dipoles, tapi rasa... itu urusan manusia.